Sabtu, 11 Oktober 2014

Sejarah hukum agraria indonesia (lengkap)



SEJARAH HUKUM AGRARIA DI INDONESIA


A.     SEJARAH HUKUM AGRARIA SEBELUM UUPA

    Menurut Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria,menyebutkan ada dua tongggak sejarah, yaitu perundangan Agrarische Wet tahun 1870.
Berlandaskan tonggak sejarah tersebut sejarah hukum agraria Indonesia dapat dibagi dalam periodesisasi sebagai berikut :
  1. Masa sebelum kemerdekan tahun 1945
  2. Masa sebelum Agrarische (1870)
  3. Masa setelah Agrarische Wet , tahun 1870 sampai Proklamasi kemerdekaan).
  4. Masa kemerdekaan :
  5. Masa sebelum UUPA (Tahun 1945 sampai tahun 1960)
  6. Masa UUPA (Setelah terbitnya UU No. 5/1960) tentang ketentuan dasar pokok-pokok agraria tanggal 24 September 1960.


B.     POLITIK AGRARIA KOLONIAL

       Penjelasan umum UUPA, merumuskan bahwa hukum agraria lama yang berlaku sebelum tahun 1960 dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya, yang disebutkan karena :
Hukum agraria lama sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi – sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional sebagai akibat dari politik pemerintah jajahan itu, hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan – peraturan hukum adat disamping peraturan – peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, yang akan menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang seba sulit juga tidak sesuai dengan cita – cita persatuan bangsa.
      Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh rakyat Indonesia.

Hukum Agraria yang pernah berlaku di Indonesia adalah :      
Agrarische Wet (Stb. 1870 : 55) yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting voor Nederlands Indie (Stb. 1925 : 479) dan ditentukan dari ayat – ayat pasal itu.
2.a. Algemeene Domein Verklaring tersebut dalam pasal 1 Agrarische Besluit(Stb.1870 :118)
b. Speciale Domein Verklaring untuk Keresidenan Sumatra, Manado, Zuider en Ooster afdeling van Borneo.
3. Koninklijke Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Stb. 1872:177) dan peraturan  pelaksanannya.
4. Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan – ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku pada mulia berlaku undang – undang ini.

Sejarah hukum belanda perlu diingat bahwa setelah kerajaan belanda menjadi Negara monarki konstitusional. Pemerintah di Hindia Belanda dalam menjalankan tugas-tugasnya terkuat dalam bentuk Undang-Undang (Wet) yang dikenal dengan RR (Regeling Reglement) tahun 1855 (Stb. 1855:2).
                  Politik agraria tercantum daam pasal 62 RR yang terdiri dari 3 ayat yang antara lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah dan bahwa gubernur jenderal dapat menyewakan tanah berdsarkan ketentuan ordonansi.
            Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia, dengan pertama – tama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah dengan hak erfpacht yang berjangka waktu lama.
 Agrarische Wet lahir atas desakan masyarakat pemilik modal besar swasta, yang pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya terbatas sekali kemungkinannya untuk berusaha dalam lapangan perkebunan besar. Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah melalui sewa tanah, yang pada masa tanam paksa, kemungkinan itu sesuai dengan politik monopoli pemerintah justru ditutup.

C.     DUALISME HUKUM AGRARIA

                  Sejak Hindia Belanda resmi menjadi jajahan Belanda tahun 1815, praktis kondisi hukum khususnya hukum perdata sudah bersifat dualisme. Disamping hukum adat yang merupakan hukum perdata bagi golongan penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk penjajah Belanda, mereka perlakukan hukum perdata yang mereka bawa dari negara asalnya.
                  Peraturan perundang – undangan di bidang perdata kemudian diperluas berlakunya bagi golongan penduduk Timur Asing untuk sebagian kemudian seluruhnya khusus bagi golongan penduduk Tionghoa dan selanjutnya sampai pula diperuntukkkan untuk golongan penduduk pribumi baik melalui lembaga pernyataan berlaku atas beberapa bagian hukum perdata tertentu ataupun melalui lembaga pernyataan tunduk secara sukarela.
                  Karena peraturan – peraturan mengenai pertanahan, merupakan peraturan yang terdapat pada Buku II KUH Perdata, disamping peraturan perundang – undangan yang lain, maka kondisi dualistis itu terjadi juga pada bidang hukum agraria. Berlakunya peraturan – peraturan hukum tanah bagi golongan penduduk eropa, disamping hukum adat mengenai tanah bagi golongan penduduk pribumi.

D.     LANDASAN FILSAFAT YANG BERLAINAN

Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi (individualistis), sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak pada eigendom – recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, disamping domein verklaring atas pemilikan tanah oleh negara.
Hukum adat demikian juga hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan. Dalam hukum tanah adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum atas tanah merupakan pusat pengaturannya. Hak perseorangan warga masyarakat adat, memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif dan dapat turun temurun.
Tetapi apabila warga tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya maka tanah itu kembali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur.




E.     ANEKA RAGAM JENIS HAK ATAS TANAH

BW atau KUHP Perdata mengenal pelbagai jenis hak atas tanah sebagai barang tidak bergerak, yaitu :
  • Bezit (kedudukan berkuasa)
  • Eigendom ( hak milik )
  • Burenrecht (hak bertetangga = hak jiran )
  • Herendiest (hak kerja rodi)
  • Erfaienst baarheid (hak pengabdian tanah)
  • Het regt van opstaal (hak numpang karang)
  • Het erfpachtsregt (hak usaha)
  • Grondrenten en tienden (bunga tanah dan hasil sepersepuluh)
  • Het vrucht gebruik (hak pakai hasil)
  • Het recht van gebruik en de bewoning (hak pakai dan hak mendiami).


Sedang hukum adat mengenal peristilahan yang lain sekali.
Hak Persekutuan atas tanah ;
  • Hak Ulayat
  • Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga luas
  • Hak perorangan atas tanah;
  • Hak milik, hak yasan (inland bezitrecht)
  • Hak wewenang pilih, hak kima cek, hak mendahulu (voorkeursrecht)
  • Hak menikmati hasil (genotsrecht)
  • Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht)
  • Hak imbalan jabatan (amblelijk profift recht)
  • Hak wenang beli (naastingsrecht)


       Tampaknya ada beberapa hak yang dilihat dari terjemahannya mirip satu sama lain, tapi karena kita ketahui bahwa asas yang dianut masing – masing sistem hukum itu berlainan, maka arti sebenarnya dari masing – masing hak itu berlainan pula.


F.      USAHA PENYESUAIAN HUKUM AGRARIA KOLONIAL DENGAN KEADAAN DAN KEPERLUAN SESUDAH KEMERDEKAAN.

     Dalam alam kemerdekaan, masalah – masalah keagrariaan yang timbul telah mendorong pihak – pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan hukum agraria. Tetapi usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria, ternyata tidak mudah dan memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan kebijaksaan baru terhadap undang – undang keagrarian yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Seperti halnya dalam menghadapi pemberian hak atas dasar pernyataan domein yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
         Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya hukum agraria yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang dimaksudkan untuk meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial, misalnya :
Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan lembaga apanage suatu lembaga yang mewajibkan para penggarap tanah raja untuk menyerahkan seperdua atau sepertiga dari hasil tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap tanah pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan “tanah partikelir” yaitu tanah-tanah eigendom yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada pemiliknya diberi hak – hak pertuanan/landheerlijk rechten), yang bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan hasil pemilihan / menghentikan kepala – kepala desa/kampung, hak  untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain-lain.
         Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan tanha rakyat. Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan kemudian UU No. 38 Prp 1960. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan UU. No. 1 (dar) 1952. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin dengan UU No.8 (dar) tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan perjanjian bagi hasil.

G.    SEJARAH PEMBENTUKAN UUPA

1. PANITIA AGRARIA YOGYAKARTA
   Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan panitia Agraria Yogyakarta.
Panitia bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik Indonesia, merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan – peraturan lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktek dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru:
  1. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
  2. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
  3. Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
  4. Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
  5. Perlunya ada penetapan luas maksimum.
  6. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
  7. Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).

2. PANITIA AGRARIA JAKARTA
    Sesudah terbentuknya kembali Negara Kesatuan maka dengan keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951 panitia terdahulu dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria Baru, yaitu berkedudukan di Jakarta.
        Tugas panitia hampir sama dengan panitia terdahulu diYogyakarta. Beberapa kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu:
Mengadakan batas minimum sebagai ide. Luas minimum ditentukan 2 hektar.
Ditentukan pembatasan maksimum 15 hektar untuk satu keluarga.
Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga negara “asli” dan “bukan asli”.
      Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik,hak usaha, hak sewa dan hak pakai. Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-pokok dasar negara.

3. PANITIA SOEWAHJO
     Dalam masa jabatan Menteri Agraria, Goenawan, dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/1956 tanggal 14 Januari 1956, panitian lama dibubarkan dan dibentuk suatu panitia baru Panitia Negara Urusan Agraria, berkedudukan di Jakarta.
   Panitia yang baru diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan beranggotakan pejabat-pejabat pelbagai Kementerian dan jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil beberapa organisasi tani.
Adapun pokok-pokok yang penting daripada Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria hasil karya panitia tersebut ialah :
  1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus ditundukkan pada kepentinan umum (negara).
  2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Dasar sementara.
  3. Dualisme hukum agraria dihapuskannya.
  4. Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak terkuat, yang berfungsi sosial.
  5. Hak milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia.
  6. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milikmseseorang atau badan hukum.
  7. Tanah pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
  8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

4. RANCANGAN SOENARJO
    Dengan adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan “Panitia Soewahjo” tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini dikenal kemudiab sebagai “Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
     Rancangan Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Barat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo, dianggap telah merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum, karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut hukum adat.


5. RANCANGAN SADJARWO
    Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo sehingga dikenal sebagai “Rancangan Sadjarwo”.
Rancangan Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal daam hukum adat,
       Rumusan bahwa hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga “dari rancangan Soenarjo, diubah dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, karena tidak berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian “hak kebendaan” dan “hak perorangan” ke dalam hukum agraria yang baru.

DASAR – DASAR PENGATURAN UUPA

     Pada tanggal 24 september 1960 RUU yang telah disetujui oleh DPR – GR itu disyahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang kelima dapat disebut dan selanjutnya memang lebih terkenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
        UUPA diundangkan di dalam Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 104, sedang penjelasannya dimuat didalam tambahan Lembaran Negara Nomor 2043. UUPA mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 24 september 1960
        Dalam penjelasan UUPA dirumuskan tujuan yang hendak dicapai oleh PA, yaitu  meletakkan dasar-dasar :
  1. Bagi penyusunan hukum agraria nasional.
  2. untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
  3. untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Ad.a. Dasar Kenasionalan
    Secara formal UUPA memang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-undang (yaitu, Presiden dengan persetujuan DPR) di Indonesia, dalam bahasa Indonesia dan dinyatakan berlaku untuk seluruh negara Republik Indonesia. Secara materil yaitu tujuan dan asas dari isi UUPA juga mencerminkan dasal kenasionalan tersebut.
     Ayat 1,2,dan 3 dari pasal 1 UUPA merupakan perwujudan dari dasar falsafah Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan Indonesia.
Negara merupakan badan penguasa. Ditegaskan oleh pasal 2 ayat 1 bahwa bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari rakyat Indonesia.
Hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hubungan sepenuhnya. Pasal 9 ayat 1 UUPA menegaskan kedudukan warga negara Indonesia dalam hubungandengan penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
     Pengutamaan kepentingan nasional. Pernyataan pasal 5, bahwa hukum agraria yang baru berlaku ialah hukum adat sebagai hukum asli, disatu pihak menunjukkan bahwa UUPA telah memilih hukum yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa daripada hukum agraria berdasarkan hukum perdata Barat (BW) dan politik agraria kolonial.
                     
Ad.b. Dasar Kesatuan dan Kesederhaan
Dihapuskannya dualisme hukum, dengan pencabutan hukum agraria kolonial dan K.B. tentang Besluit, pencabutan BW (KUHPerdata) sepanjang mengenai tanah (Diktum pertama UUPA) serta penetapan hukum adat sebagai dasar hukum agraria (Pasal 5 UUPA), mencerminkan dsar kesatuan termaksud.
Dalam hal ini, hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia sesuai dengan sifat dan tingkat pengetahunan bangsa Indonesia yang masih sederhana.


Ad.c. Dasar Kepastian Hukum
  1. Dikembangkannya peraturan –peraturan hukum tertulis sebagai pelaksanaan UUPA, akan memungkinkan pihak-pihak yang berkepentinan untuk dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta kewajiban apa yang ada padanya atas tanah yang dipunyainya.
  2. diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif, akan memungkinkan pihak – pihak yang berkepentingan dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dipunyainya dan mengetahui sesuatu atas tanah kepunyaan pihak lain.



H.    PERATURAN PERALIHAN

Dalam UUPA terdapat 6 pasal kententuan peralihan, yaitu :
  1. Pasal-pasal yang mengatur sendiri (kaidah berdiri sendiri):

  • Hak-hak yang sifatnya sementara (pasal 53)
  • Menanggalkan kewarganegaraan rangkap (Pasal 54)
  • Hak-hak asing (Pasal 55)
  • Pasal-pasal yang menunjuk (Kaidah penunjuk):
  • Peraturan mengenai hak milik, sebelum terbitnya UU hak milik termaksud dalam pasal 50 UUPA
  • Peraturan mengenai hipotek dan creditverband, selama belum terbitnya UU mengenai hak tanggungan termaksud dalam pasal 51 UUPA (Pasal 57)
  • Peraturan peralihan umumnya (Pasal 58)

I.       TENTANG PELAKSANAAN UUPA

Catatan tentang berlakunya UUPA di beberapa propinsi :
      Dengan telah selesainya Penentuan Pendapatan Rakyat pada tahun 1969 dan dibentuknya Irian Barat sebagai salah satu Propinsi di Indonesia (UU No. 12/1969), maka dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 tahun 1971 (tanggal 26 September 1971)UUPA dan peraturan-peraturan perundangan agraria lainnya untuk keseragaman dinyatakan berlaku diwilayah Propinsi Irian Jaya mulai tanggal 26 September 1971.
  Berdasarkan undang-undang tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 3/1950), beberapa urusan diserahkan kepada Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kewenangan otonom. Salah atu akibat dari penyerahan kewenangan ini adalah belum diberlakukannya UUPA No. 5 tahun 1960 di Propinsi tersebut secara penuh.
      Kemudian setelah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menyampaikan persyaratan untuk memberlakukan UUPA secara penuh, agar dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, diterbitkanlah Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 30 tahun 1984 bertanggal 1 April 198



















SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA

A. SEBELUM PROKLAMASI KEMERDEKAAN (1945)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat dualisme hukum yang berlaku di Indonesia yaitu berlakunya hukum agraria barat di satu pihak dan hukum agraria menurut hukum adat di pihak lain. Hukum agraria barat berlaku bagi warga negara Belanda dan orang-orang asing lainnya yang tunduk pada hukum barat, termasuk bagi mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Barat seperti Jepang. Sedangkan hukum agraria menurut hukum adat berlaku bagi warga negara asli (pribumi). Hukum barat dikodifikasikan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W) sedangkan hukum adat merupakan hukum rakyat asli yang tidak tertulis.
1. Peraturan-peraturan Agraria yang Berlaku di Daerah Pemerintahan Langsung
Agrarische Wet
Agrarische Wet merupakan dasar bagi hukum agraria pemerintah Belanda yang dibuat di negri Belanda pada tahun 1870 (Stb.tahun 1870 no.55). Agrarische Wet lahir atas desakan modal besar swasta pada waktu dijalankan stelsel tanam paksa pada pertengahan abad 19.
Tujuan Agrarische Wet adalah:
membuka kemungkinan kepada pemodal besar asing untuk berkembang di Indonesia
membuka kemungkinan bagi pegusaha untuk menyewa tanah dari rakyat.terutama untuk tebu dan tembakau
melindungi hak-hak rakyat Indonesia asli, karena tanpa perlindungan itu dikhawatirkan rakyat akan menghilangkan tanahnya sama sekali yang dapat menimbulkan akibat berbahaya bagi pemerintah.
Sedangkan prinsip yang diemban dalam Agrrische Wet antara lain :
Memberi kesempatan pihak swasta agar mendapatkan tanah luas dengan sewa murah
Hak pakai (menyewa tanah)
Pemerintah boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum
Golongan bumi putera diberi kesempatan mengkonvensi HAT untuk menjadi egendom.
Agrarische Besluit
Pelaksanaan daripada ketentuan-ketentuan Agrarische Wet ini diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang terpenting ialah Koningklijke Besluit yang terkenal dengan nama Agrarische Besluit dan dimuat dalam Stb no.118. Di dalam Agrarische Besluit pasal 1 termuat pernyataan penting yang terkenal dengan sebutan “Domein Verkaling“, yang berisi ketentuan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan eigendomnya maka tanah tersebut domeinnya, adalah domein negara.
Disamping domein verkaling yang bersifat umum di dalam perundang undangan agraria Barat masih terdapat lagi pernyataan domein yang khusus berlaku bagi daerah-daerah tertentu yang disebut Speciale Domein Verkaling. Pernyataan ini terdapat di dalam pasal 1dari beberapa Ordonansi Erfpacht sebagai berikut:
untuk Sumatra (Stb tahun 1874 no 94f)
untuk kresidenan menado (Stb.tahun 1877 no 55)
untuk keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur (Stb tahun 1888 no 58)
Domein Verkaling mempunyai beberapa fungsi:
sebagai landasan negara untuk memberi hak-hak barat seperti:hak eigondom,hak opstal, hak erfpacht dan lain-lain. Menurut pemerintah Hindia Belanda hanya satu eigenaar (pemilik) saja yang dapat memberikan tanah dengan hak barat,oleh sebab itu perlu negara yang menyatakan dirinya sebagai eigenar
untuk keperluan pembuktian sehingga negara tidak perlu membuktikan hak eigondomnya dalam suatu perkara. Pihak lainlah yang harus membuktikan haknya itu
2. Peraturan Agraria di Daerah Swapraja
Dalam tahun 1918 dikeluarkan ordonansi yang mula-mula diberi nama Grondhur Reglementvoor de Residentie Soerakarta en Yogyakarta yang diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1918 No. 20 dan pada tahu 1928 diubah namanya menjadi Vorstenlands Grondhur Reglement (V.G.R). Dengan peraturan ini pengusaha asing dapat memperoleh hak atas tanah dengan cara Konversi. Maksudnya ialah pergantian/perubahan hak atas tanah,yaitu memperkenankan kepada pengusaha asing untuk memakai dan mengusahakan tanah tertentu melalui Beschikking dari Raja.
B. SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN (17 AGUSTUS 1945) SAMPAI 24 SEPTEMBER 1960
Pada tahun 1948, usaha-usaha yang konkret menyusun dasar-dasar Hukum Agraria yang akan menggantikan Hukum Agraria warisan dari pemerintah kolonial, diwujudkan dalam bentuk Panitia Agraria.
Panitia Agraria Yogyakarta
Panitia ini dibentuk karena adanya Penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 No. 16. Panitia Agraria Yogyakarta diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo.
Tugas dari panitia ini yaitu untuk memberi pertimbangan kepada pemerintah mengenai soal-soal hukum tanah pada umumnya; merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria Negara Republik Indonesia; merancang perubahan, pergantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari sudut legislative maupun sudut praktik dan menyelidiki soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Beberapa usulan asas-asas yang merupakan Hukum Agraria, antara lain :
1) Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
2) Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
3) Diadakan penyelidikan dalam peraturan-peraturan Negara lain.
4) Perlu diadakan penetapan luas minimum tanah untuk menghindarkan pauperisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang layak.
5) Perlunya penetapan luas maksimum
6) Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan oleh Sarimin Reksodiharjo.
7) Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting.
Panitia Agraria Jakarta
Panitia ini dibentuk dengan pertimbangan, Panitia Agraria Yogyakarta tidak sesuai lagi dengan keadaan Negara. Maka tanggal 19 Maret 1951 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 36/1951 Panitia Agraria Yogyakarta dibubarkan dan dibentuk panitia baru yang berkedudukan di Jakarta, panitia ini masih diketuai oeh Sarimin Reksodiharjo. Pada dasarnya tugas panitia ini hamper sama dengan Panitia Agraria Yogyakarta.
Kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu :
8) Mengadakan batas minimum.
9) Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu keluarga.
10) Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk warga Indonesia.
11) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
12) Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang sesuai dengan pokok-pokok dasar Negara.
Panitia Soewahjo
Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 55/1955 pada tanggal 29 Maret 1955 dibentuklah Kementrian Agraria yang tugasnya mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agrarian nasional.
Pada masa jabatan Menteri Agraria Goenawan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Januari 1956 No. 1/1956. Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk panitia baru yang diketuai Soewahjo Soemodilogo.
Tugas utamanya mempersiapkan rencana undang-undang Pokok Agraria yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
Tahun 1957 panitia telah berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, pokok-pokoknya adalah :
13) Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat yang harus ditundukkan pada kepentingan umum (Negara).
14) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara.
15) Dulisme hukum agraria dihapuskan.
16) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi sosial, ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai.
17) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara Indonesia.
18) Perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
19) Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
20) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
Rancangan Soenarjo
Dengan adanya perubahan mengenai sistematika dan rumusan beberapa pasal. Rancangan panitia Soewahjo tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo. Rancangan Soenarjo telah dibicarakan dalam sidang pleno DPR pada tingkat Pemandangan Umum babak pertama.
Untuk melanjutkan pembahasannya DPR membentuk suatu panitia ad-hoc. Sejak itu pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno menjadi tertunda dan ditarik kembali oleh kabinet.
Rancangan Sadjarwo
Dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Rancangan tersebut disetujui oleh Kabinet Inti dan Kabinet Pleno dan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Rancangan Sadjarwo secara tegas menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya, berbeda dengan rancangan Soenarjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya.
Pengesahan dan pengundangan
Setelah selesai dilakukannya pembahasan dan pemeriksaan pendahuluan, pada tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat DPR-GR menerima baik Rancangan UUPA yang diajukan oleh Sadjarwo.
Pada tanggal 24 September 1960 Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui DPR-GR tersebut disyahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Peraturan

2 komentar: