Selasa, 07 April 2015

sejarah hukum internasional


A.  Pengertian hukum internasional

          Yang dimaksud dengan hukum internasional di sini adalah hukum internasional publik. Penegasan ini perlu, guna membedakan hukum internasional dengan hukum perdata internasional. Kedua jenis hukum ini sekalipun memiliki persamaan tetapi juga memiliki perbedaan-perbedaan.
          Untuk memperoleh kejelasan mengenai persamaan dan perbedaan antara kedua bidang hukum itu, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan kedua bidang hukum tersebut sebagai berikut:[1]
    
1.    Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur  hubungan hukum perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum yang berlainan.
2.    Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat perdata.

          Dari kedua rumusan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan adanya persamaan dan perbedaan antara kedua bidang hukum tersebut. Persamaannya, yakni keduanya mengatur hubungan hukum yang melintasi batas-batas negara. Perbedaannya terletak pada sifat dari hubungan hukumnya. Hukum perdata internasional mengatur hubungan hukum yang bersifat perdata, sedangkan hukum internasional publik mengatur hubungan hukum yang tidak bersifat perdata.[2]
          Selain itu, berbeda dengan hukum internasional (publik) yang aturan hukumnya benar-benar bersifat internasional dalam arti hanya ada satu hukum yang berlaku bagi masyarakat internasional,[3] hukum perdata internasional pada hakikatnya merupakan hukum nasional. Hanya saja, dalam hukum perdata internasional ada unsur asingnya. Unsur asing itu terdapat di dalam hubungan hukumnya[4]
          Timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan hukum internasional tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa rumusan yang diajukan oleh para pakar di bidang hukum internasional.
          Oppenheim merumuskan hukum internasional sebagai himpunan aturan kebiasaan dan perjanjian internasional yang dianggap mengikat menurut hukum oleh negara-negara dalam hubungan mereka satu dengan lainnya.[5] Menurut Brierly, hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan aturan dan asas-asas perilaku yang mengikat terhadap negara-negara beradab dalam hubungan negara-negara ini satu dengan lainnya.[6] Sejalan dengan rumusan ini Mohammed Bedjaoui menegaskan bahwa hukum internasional terdiri dari seperangkat norma dalam bentuk tertulis atau sebaliknya, yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan hubungan di antara negara-negara itu sendiri.[7]   
          Ketiga  rumusan tersebut, menegaskan bahwa hukum internasional mengatur hubungan antar negara. Rumusan ini, yang menekankan pada pengaturan hubungan antar negara[8] dapat kita golongkan sebagai rumusan tradisional, suatu  rumusan yang sudah  tidak sesuai dengan kenyataan sekarang. Pada masa sekarang hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur hubungan hukum antara negara dengan organisasi internasional bahkan juga dengan orang perorangan. Tegasnya, hukum internasional tidak lagi sekedar mengatur hubungan atau persoalan antar negara tetapi lebih luas daripada itu.
          Sejalan dengan kenyataan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan sebagai berikut:[9]
Hubungan atau persoalan internasional pada masa sekarang tidak semuanya dapat disebut hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan antar negara. Kedudukan-kedudukan pejabat internasional tempat mereka bekerja tidak tercakup di dalamnya.
Demikian pula pelanggaran-pelanggaran ketentuan pidana daripada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 oleh perorangan tidak dapat dikatakan persoalan antar negara. Sebaliknya, persoalan di atas sukar digolongkan dalam bidang hukum tata usaha negara atau hukum pidana yang tradisional.

          Berdasarkan kenyataan ini, maka hukum internasional dirumuskan sebagai keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara: (1) negara dengan negara, (2) negara dengan subyek hukum lain bukan negara, dan subyek hukum bukan negara  satu sama lain.[10]  Rumusan yang hamper sama dikemukakan juga oleh T.J. Lawrence. Lawrence merumuskan hukum internasional sebagai kumpulan peratyuran yang menetapkan perbuatan himpunan umum Negara-negara yang beradab dalam hubungan mereka satu dengan lainnya, dan masing-masing Negara tersebut dengan subyek-subyek hokum lainnya “the aggregate of the rules which determine the conduct of the general body of civilised States in their dealings with each other and each others subjects. (T.J. Lawrence)”.[11]
Rumusan atau batasan ini dapat kita sebut sebagai rumusan modern. Rumusan modern ini dikemukakan juga oleh,  dan J.G. Starke. Menurut Starke:[12]
Hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan hukum yang sebagian besar terdiri atas asas-asas dan aturan-aturan perilaku yang dirasakan mengikat untuk ditaati oleh negara-negara itu, dan karena itu pada umumnya ditaati dalam hubungan negara-negara itu satu dengan lainnya, dan mencakup juga:
a) aturan hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan lembaga atau organisasi internasional itu satu dengan lainnya, dan
b) hubungan lembaga atau organisasi internasional itu dengan negara dan orang perorangan, dan aturan hukum tertentu yang berkaitan  dengan orang-perorangan dan badan-badan bukan negara sejauh hak-hak dan kewajiban orang-perorangan itu merupakan kepentingan masyarakat internasional.
         
          Dengan demikian, maka hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur hubungan antara negara dengan subyek hukum lain bukan negara, dan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya. Tentang subyek hukum bukan negara ini akan dibahas dalam bagian lainnya.
          Oppenheim membedakan hukum internasional atas hukum internasional universal, hukum internasional umum dan hukum internasional khusus.[13] Hukum internasional universal, adalah hukum internasional yang berlaku untuk semua negara tanpa kecuali, seperti hukum yang berkaitan dengan hak-hak duta, dan hukum mengenai perjanjian internasional. Hukum internasional umum adalah hukum internasional yang mengikat banyak sekali negara, seperti Deklarasi Paris 1856, Perjanjian Internasional tentang Ruang angkasa 1967. Dan, hukum internasional khusus adalah hukum internasional yang mengikat dua atau beberapa negara.
          Tampaknya, apa yang disebut hukum internasional universal dijadikan satu dengan hukum internasional umum oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut beliau, dalam perwujudannya di samping hukum internasional umum dikenal juga hukum internasional regional dan hukum internasional khusus. Hukum internasional regional, adalah hukum internasional yang terdapat dan berlaku di kawasan tertentu. Hukum internasional jenis ini bersumber dari kebiasaan, dan pesertanya terbatas pada kawasan tersebut.  Sedangkan hukum internasional khusus, adalah hukum internasional yang berlaku untuk negara-negara tertentu. Hukum internasional khusus ini timbul dari perjanjian internasional neka pihak, dan pesertanya tidak mesti terbatas pada kawasan tertentu saja.[14] Baik hukum internasional regional  maupun hukum internasioal khusus, keduanya, tidak bertentangan dengan hukum internasional umum. Bahkan, keduanya dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional umum. Konsep tentang landas kontinen yang bermula dari Proklamasi Presiden Amerika Serikat, Truman pada tahun 1945 misalnya, dengan cepat diterima oleh masyarakat internasional dan sekarang menjadi hukum internasional yang berlaku umum.
          Selain istilah hukum internasional, dikenal juga istilah hukum dunia (world law). Kedua istilah ini bertolak dari konsep yang berbeda. Pengertian hukum internasional didasarkan pada pikiran adanya sejumlah negara berdaulat, masing-masing berdiri sendiri, yang satu tidak di bawah yang lainnya. Di sini, tidak terdapat suatu badan yang berada di atas negara, baik dalam bentuk negara dunia maupun badan internasional lainnya. Dan, oleh karena itu, tertib hukum yang mengaturnya bersifat koordinasi. Hukum dunia didasarkan pada konsep yang sama sekali berbeda. Konsep yang mendasari hukum dunia ini banyak dipengaruhi oleh analogi dalam hukum tata negara. Menurut konsep ini, hukum dunia merupakan semacam negara (federal) dunia yang meliputi semua negara di dunia. secara hirarkhis negara dunia berada di atas negara-negara. Dan, tertib hukum yang mengaturnya bersifat subordinasi. Sesuai dengan kenyataan, maka konsep pertama yang  mendasari tertib hukum internasional lebih sesuai dengan keadaan sekarang. Kemungkinan terwujudnya negara dunia, yang diatur oleh hukum dunia masih jauh dari kenyataan.

B. Sifat dan hakikat mengikatnya hukum internasional

          Sebagaimana halnya dengan hukum pada umumnya, hukum internasional juga harus memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat itu adalah: ada masyarakat, ada seperangkat aturan tingkah laku manusia di dalam masyarakat, dan adanya persetujuan akan adanya kekuasaan dari luar yang memaksakan ditaatinya aturan hukum tersebut.[15]
          Menurut Oppenheim, masyarakat merupakan himpunan dari sejumlah orang-perorangan yang sedikit banyak terikat bersama melalui kepentingan bersama yang menimbulkan hubungan tetap dan beragam di antara orang-perorangan tunggal itu. Rumusan masyarakat ini, tidak hanya meliputi masyarakat orang-perorangan, tetapi juga masyarakat dari masyarakat pribadi (individual community) seperti negara.[16] Jadi, sebagaimana halnya dengan orang-perorangan sebagai anggota masyarakat, maka suatu negara pun merupakan anggota dari masyarakat negara-negara atau masyarakat internasional. Sekarang, terdapat lebih dari 190 negara, 185 negara di antaranya adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.[17]

          Akan tetapi, adanya sejumlah negara saja tidak cukup untuk membuktikan adanya masyarakat internasional. Untuk itu, diperlukan hubungan tetap di antara negara-negara yang merupakan anggota dari masyarakat internasional itu. Hubungan tetap di antara negara-negara itu dapat terlihat dari berbagai hubungan, seperti hubungan perdagangan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga. Hubungan tetap ini perlu dipelihara dan dipertahankan. Dan, untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan ini diperlukan hukum.[18]
          Adanya sejumlah negara ini merupakan unsur materiil (fakta fisik) bagi adanya masyarakat internasional. Di samping unsur materiil ini diperlukan pula faktor lain yang merupakan unsur pengikat bagi masyarakat internasional tersebut, yaitu faktor non materil. Unsur pengikat atau faktor non materiil ini adalah, adanya kesamaan asas-asas hukum di antara bangsa-bangsa di dunia. Asas-asas yang bersamaan ini dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, yang merupakan penjelmaan dari hukum alam.[19] Jadi, adanya masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah.

          Jika keberadaan masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah, demikian pula halnya dengan aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional. Aturan-aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional ini dapat dijumpai baik dalam hukum perjanjian  maupun hukum kebiasaan internasional. Penggunaan bendera putih sebagai bendera diplomatik pada masa perang, dan pemberian suaka kepada orang-orang yang meminta perlindungan di Kantor Kedutaan Asing berasal dari hukum kebiasaan. Dan, aturan-aturan mengenai hubungan diplomatik, hukum laut internasional, hukum ruang angkasa, dan hukum perjanjian internasional bisa dijumpai dalam berbagai perjanjian internasional.
          Selanjutnya, untuk berlakunya hukum internasional harus ada kekuasaan dari luar yang memaksakan penaatannya. Dalam hukum internasional, kekuasaan dari luar tersebut adalah masyarakat internasional.
          Berbeda dengan hukum nasional, yang memiliki badan-badan legislatif, eksekutif, peradilan atau badan polisional yang dapat memaksakan ditaatinya aturan hukum ini, di dalam hukum internasional badan-badan ini tidak ada.[20] Tidak adanya badan-badan ini, menyebabkan beberapa pemikir seperti Hobbes, Pufendorf, Spinoza dan Austin menyangkal sifat mengikat dari hukum internasional. Bagi mereka, hukum internasional bukanlah hukum. Menurut Austin hukum internasional bukan hukum dalam arti sebenarnya, tetapi hanya aturan moral positif.[21]
          Pendapat Austin ini, sejalan dengan pandangannya tentang hukum. Austin merumuskan hukum sebagai perintah umum dari suatu penguasa (sovereign) yang ditujukan kepada warganya (his subjects). Sebagai perintah hukum harus dikeluarkan oleh orang atau badan yang dipatuhi oleh masyarakat tertentu. Pembentuk hukum tersebut juga meliputi pembentuk undang-undang.[22]
          Pendapat Austin tidak sepenuhnya benar. Pengertian hukum yang dikemukakan Austin, hanya benar untuk hukum tertulis atau hukum dalam arti undang-undang, yang dibuat oleh Parlemen di negara konstitusional atau kekuasaan berdaulat lainnya di negara-negara nir konstitusional. Pengertian tersebut tidak mencakup hukum kebiasaan. Padahal, dalam kenyataannya tidak ada suatu masyarakat yang hanya cukup dengan hukum tertulis saja. Di mana pun selalu ada hukum kebiasaan yang berdampingan dengan hukum tertulis.[23]

          Selanjutnya, pendapat Austin juga dibantah  Starke. Menurut Starke, pendapat Austin dibatah oleh kenyataan berikut:[24]
a.  Yurisprudensi historis modern tidak memperhitungkan kekuatan teori hukum umum Austin. Sudah ditunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat tanpa suatu otoritas legislatif formal pun suatu sistem hukum berlaku dan ditaati dan bahwa hukum demikian tidak berbeda dalam operasi mengikatnya dari hukum suatu negara dengan suatu otoritas legislatif sesungguhnya.
b. Pandangan-pandangan Austin, sekalipun benar bagi zamannya, tidaklah benar bagi hukum internasional dewasa ini. Pada abad pertengahan yang lalu, sejumlah besar “perundangan internasional” sudah terlahir sebagai akibat perjanjian-perjanjian pembuatan hukum dan konvensi-konvensi, dan proporsi-proporsi aturan kebiasaan hukum internasional berkurang. Seandainya benar bahwa otoritas legislatif berdaulat yang tegas di bidang internasioal, prosedur untuk merumuskan aturan-aturan “perundangan internasional” ini dengan jalan konferensi-konferensi internasional atau melalui organ -organ internasional yang ada praktis seperti sudah diselesaikan, sekalipun tidak seefisien prosedur legislatif negara. 
c.  Masalah-masalah hukum intenasional selalu ditangani sebagai masalah yuridis oleh siapa pun yang melaksnakan urusan internasional dalam berbagai Departemen Luar Negeri, atau melalui berbagai badan-badan administratif internasional yang ada. Dengan kata lain, instansi-instansi otoritatif yang bertanggung jawab atas tetap berlangsungnya pergaulan internasional tidak menganggap hukum internasional kitab undang-undang moral belaka.

          Bahwa hukum internasional bukanlah aturan moral belaka, karena berbeda dengan moral yang bersumber dari kesadaran hati nurani dan daya paksanya berasal dari dalam, maka hukum termasuk hukum internasional dipaksakan oleh kekuasaan dari luar.[25] Yang dimaksud dengan kekuasaan dari luar, adalah kekuasaan dari masyarakat. Dan, untuk hukum internasional kekuasaan dari luar tersebut tentu saja masyarakat internasional.
          Jadi, hukum internasional benar-benar merupakan hukum yang mengikat masyarakat internasional. Hanya saja, diakui bahwa hukum internasional merupakan hukum yang lemah. Kelemahan ini, terutama mencolok pada masa perang. Sebab, pada masa ini pihak-pihak yang berperang acap meremehkan aturan hukum internasional tentang perang. Akan tetapi, hukum yang lemah tetaplah hukum.[26]
          Persoalannya, apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam berbagai teori tentang mengikatnya hukum internasional. Teori-teri tersebut adalah: (1) teori hukum alam, (2) teori kehendak negara, (3) teori kehendak bersama negara, (4) teori kaidah hukum dan (5) teori kenyataan kemasyarakatan (fakta sosial).[27]

          Menurut teori hukum alam, hukum internasional mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan bangsa-bangsa. Dengan kata lain, negara-negara terikat pada hukum internasional dalam hubungannya satu dengan lainnya karena hukum internasional merupakan  hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.Teori ini disekularkan oleh Hugo de Groot dan lebih disempurnakan oleh Emerich Vattel (1714-1767).
          Menurut Vattel hukum bangsa-bangsa yang muncul dari hukum alam mutlak perlu dipatuhi. Sebab, hukum bangsa-bangsa ini mengandung petunjuk-petunjuk yang diperintahkan hukum alam kepada negara-negara, dan tidak kurang mengikatnya terhadap negara-negara daripada terhadap individu-individu.
          Kelemahan dari teori ini, karena sifatnya yang samar-samar dan tergantung pada pendapat subyektif dari yang bersangkutan seperti konsep keadilan, kepentingan masyarakat internasional, kemanfaatan, keharusan dan sebagainya. Kesamaran ini semakin bertambah dalam kaitannya dengan hukum internasional. Ini, disebabkan karena perbedaan taraf integrasi, kebudayaan dan sistem nilai yang biasanya dikaitkan dengan hukum alam meskipun istilah yang dipergunakan mungkin sama.

          Meskipun demikian, konsep hukum alam ini mempunyai pengaruh besar dan baik bagi prkembangan hukum internasional. Konsep hukum alam ini telah menimbulkan  keseganan terhadap hukum internasional, meletakkan dasar moral yang berharga bagi hukum internasional dan bagi perkembangan selanjutnya.
          Sisa-sisa dari teori hukum alam masih ada sampai sekarang. Ini bisa dilihat misalnya, dalam konsep yang melandasi Pernyataan Hak-hak dan Kewajiban Negara-negara (Draft Decalaration on the Rights and Duties of States) yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional.[28]
          Teori kehendak negara menyatakan tunduknya negara kepada hukum internasional adalah atas kemauan negra itu sendiri. Menurut para penganut teori ini, sumber dari segala hukum adalah negara, dan, hukum internasional itu mengikat karena negara-negara itu atas kemauan sendiri tunduk pada hukum internasional. Tokoh dari aliran ini adalah George Jellineck, dan  Zorn. Menurut Zorn, hukum internasional tidak lain dari hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara.
          Teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu (1) tidak dapat menerangkan bagaimana hukum internasional itu mengikat; (2) bagaimana kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk terikat?; (3) mengapa negara baru langsung terikat pada hukum internasional, terlepas dari dari ada tidaknya kemauan untuk terikat pada hukum internasional?; dan (4) bagaimana halnya dengan hukum kebiasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh teori kehendak negara.
          Bukan kehendak negara satu-satu persatu yang mengikat mereka pada hukum internasional, melainkan kemauan bersama dari negara-negara itu. Demikian, menurut Tripel. Kehendak bersama ini lebih tinggi daripada kehendak masing-masing negara. Teori ini disebutnya, “Vreinbarungstheorie”. Hukum kebiasaan, menurut teori ini, merupakan persetujuan diam-diam. Dan, Triepel menolak kemungkinan untuk suatu negara melepaskan diri dari ikatan tersebut.
          Oleh karena  berlakunya hukum internasional disandarkan pada kemauan negara, maka teori ini pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian internasional. Di sini teori kehendak mempunyai titik pertemuan dengan teori alami tentang perjanjian. Menurut teori hukum alam klasik, hukum itu mengikat sepanjang orang-orang mau terikat olehnya. Diterapkan pada nasyarakat internasional yang pada waktu itu merupakan masyarakat antar negara, teori ini sampai pada simpulan yang sama dengan teori kehendak.
          Dasar fikiran dari teori kehendak atau kehendak bersama tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan hukum yang mengikat kehidupan. Sebab, ia bisa saja melepaskan diri dari kekuatan hukum yang mengikat itu dengan cara menarik kembali persetujuannya untuk terikat. Dan, persetujuan negara untuk tunduk kepada hukum internasional menghendaki  adanya norma atau hukum lebih dulu terlepas dari kehendak negara-negara, sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan.
          Teori berikutnya mengenai mengikatnya hukum internasional adalah teori kaidah hukum. Menurut teori ini, norma hukumlah yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional. Teori ini dikemukakan oleh para penganut mazhab Wina, yang dipelopori oleh Hans Kelsen. Mazhab ini berpendapat, bahwa yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional adalah kaidah hukum yang lebih tinggi yang didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, dan berakhir pada kaidah dasar (Grundnorm) sebagai kaidah yang tertinggi. Kaidah dasar ini harus diterima sebagai hipotesa asal (Ursprungshypothesis) yang tak dapat diterangkan secara hukum. Dan, yang dianggap sebagai kaidah dasar dari hukum internasional adalah asas Pacta Sunt Servanda.
          Teori ini tidak dapat menerangkan apa sebabnya kaidah dasar itu mengikat. Akibatnya, seluruh sistem yang logis menjadi tergantung di awang-awang, sebab, tidak mungkin menyandarkan kekuatan hukum internasional itu pada suatu hipotesa. Dengan menyatakan bahwa persoalan kekuatan grundnorm merupakan persoalan di luar hukum, maka persoalan mengikatnya hukum internasional dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum. Dengan demikian, maka teori tentang dasar mengikatnya hukum internasional dikembalikan lagi kepada teori-teori hukum alam.
          Berbeda dengan teori-teori tersebut di atas, mazhab Perancis dengan para pemukanya, Fauchile, Scelle dan Duguit berusaha menerangkan kekuatan mengikatnya hukum internasioal dengan mengaitkannya pada kenyataan-kenyataan hidup manusia. Mereka mendasarkan kekuatan mengikatnya hukum internasional didasarkan pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia, yang mereka sebut faktor-faktor kemasyarakatan (fait sosial). Kenyataan-kenyataan kemasyarakatan inilah yang menjadi dasar mengikatnya segala hukum. Dan, ini dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang perorangan juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi, dasar mengikatnya hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu guna terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.

C. Sanksi dalam hukum internasional

          Penolakan hukum internasional sebagai hukum selain didasarkan pada alasan bahwa hukum internsional tidak dibentuk oleh suatu badan yang khusus untuk itu, seperti badan legislatif atau pengundang-undang pada hukum nasional juga kerap didasarkan pada alasan ketiadaan sanksi pada jenis hukum ini. Penolak atas dasar ketiadaan sanksi ini disebabkan karena kekeliruan pandangan mengenai makna sanksi.
          Bagi para penolak ini, sanksi acap hanya dilihat seperti sanksi pada hukum pidana. Di sini, sanksi kerap dilihat sebagai hukuman pencabutan kebebasan (hukuman penjara), dan hukuman penghilangan nyawa (hukuman). Karena dikaitkan dengan hukuman pada hukum pidana, juga bekerjanya hukum internasional kerap dikaitkan dengan polisi dan kejaksanaan, serta badan peradilan (pidana)[29] internasional. Mereka mengabaikan adanya berbagai macam atau bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan oleh masyarakat internasional jika terjadai berbagai pelanggaran terhadap hukum internasional.
          Philip M. Brown, menyebut  sanksi internasional sebagai “compulsory force of reciprocal advantage and fear of retalation”. Dalam The North Atlantic  Coast Fisheries Arbitration of 1910, pengadilan (arbitrasi) menyebut sanksi hukum internasional sebagai “appeal to public opinion, publication of correspondence, cencure by Parliament, demand for arbitration with the odium attendant  on a refusal to arbitrate, rufture of relation, reprisal etc.”.[30]
          Keberadaan sanksi dalam hukum internasional juga ditegaskan oleh Hans Kelsen dalam karya terakhirnya Principles of International Law. Di sini Kelsen sampai pada simpulan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sebenarnya (true law)  karena …. Hukum ini memberikan sanksi, seperti penggunaan pembalasan (reprisal), perang dan penggunaan kekerasan pada umunya, dan menyebabkan penggunaan sanksi-sanksi ini sah sebagai tindakan pembalasan (counter-measures) terhadap kesalahan menurut hukum (legal wrong), tetapi ini tidak sah pada kasus-kasus lain …. [31]
         
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL

          Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antar negara telah tumbuh hanya dalam masa empat ratus tahun terakhir. Biasanya diambil sebagai awal lahirnya hukum internasional modern, yaitu pada saat ditandanganinya Perjanjian Perdamaian West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29]
          Akan tetapi, jika hukum internasional diartikan dalam arti luas yang mencakup pula hukum bangsa-bangsa (law of nations), maka hukum internasional sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM, sebelum terbentuknya sistem kenegaraan Romawi  (tahun 117) dan Yunani (431 SM) di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu bersamaan di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi baru bisa dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang terkenal dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100 SM di antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya, dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30]
          Di lingkungan kebudayaan India Kuno terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di India pada masa beberapa abad sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu dengan lainnya. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara para raja itu disebut Desa Dharma. Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah satu karya tertua di bidang hukum, berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum keluarga. Undang-undang Manu (abad V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa di zaman India Kuno juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antara raja-raja atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan dan hak-hak istimewa diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan hukum perang.[31]
          Lingkungan kebudayaan lain yang telah mengenal semacam hukum bangsa-bangsa adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama mereka sudah dikenal ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan orang asing dan cara melakukan perang. Hanya saja,  dalam yang disebut terakhir ini, dalam hukum Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
          Dalam kebudayaan Yunani terdapat aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant) di dalam perang. Menurut hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh diganggu gugat, perang harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat dijadikan budak. Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang yang disebut konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani adalah konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal manusia. Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M. diteruskan ke Roma.  Dan, dari Roma diteruskan ke suluruh dunia. Hukum alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum internasional, yang setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali setelah Perang Dunia II dalam wujud asas-asas hukum umum.
          Pada masa imperium Romawi hukum internasional tidak mengalami perkembangan pesat. Ini disebabkan, karena pada masa itu masyarakat dunia merupakan suatu imperium, yang menguasai seluruh wilayah di dalam lingkungan imperium Romawi. Akibatnya, tak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya dengan hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan hukum internasional pada masa ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1. kesatuan duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2. struktur feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat timbulnya negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh sifat unitaris dan wibawa negara-negara modern.

          Sekalipun demikian, hukum Romawi telah memberikan sumbangan penting bagi perkembangan hukum internasional. Istilah ius gentium yang berasal dari bahasa Latin merupakan sumbangan hukum Romawi.[32] Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum perdata, dan asas pacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan Romawi.[33] Jadi, sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak pada ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya, yang menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara langsung dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.
          Pada abad pertengahan terdapat dua lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat, yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium, karena posisinya yang lemah mempraktikkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya, yang merupakan sumbangan terpenting dari kekaisaran Byzantium.
          Sumbangan terpenting yang diberikan Dunia Islam adalah di bidang hukum perang. Perang menurut konsep Islam dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan tindakan sewenang-wenang, dan menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam Islam telah diperkenalkan perlakuan yang baik terhdap tawanan perang (Q.II, 190, 191). Tawanan perang dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan, atau karena memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang diberikan oleh tawanan perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal dari Islam tetapi hanya sebagai tindakan timbal balik dan  pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum Islam mengenai sudah dikenal larangan menyerang orang tua, anak-anak dan perempuan. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat melarang mencincang mayat musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka dengan sebaik-baiknya, melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan pembakaran, merusak pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali untuk kebutuhan makan, dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan, hubungan antar bangsa, berupa hidup bertetangga secara baik diatur di dalam Q.S. Al Hujurat ayat 13.
          Sementara itu, di Eropa Barat hukum internasional pada Abad Pertengahan dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan di bawah Paus sebagai penguasa tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di dalam Corpus Juris Canonici, yang menempatkan hukum Gereja di atas negara. Doktrin ini ditentang Marthin Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki reformasi (pembaharuan). Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun, dan berakhir pada tahun 1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West Phalia.[36]
          Dengan pertumbuhan sejumlah negara  merdeka di Eropa, dimulailah perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional, karena:[37]
1. Selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di Eropa;
2.  perjanjian perdamaian itu mengakhiri selama-lamanya usaha kaisar Romawi yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali imperium Romawi yang suci;
3. hubungan negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan nasional negara yang bersangkutan;
4. kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh Perjanjian West Phalia.

          Perjanjian West Phalia merupakan titik puncak dari proses yang sudah dimulai sejak Abad Pertengahan, yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan manusia, khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan demikian, kita dapat menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan kerangka sejarah. Ini, akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan seolah-olah sebelum  perjanjian perdamaian tersebut tidak ada negara nasional. Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu: Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia.
          Masyarakat internasional baru yang terbentuk setelah Perjanjian West Phlia memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan susunan masyarakat Kristen Eropa di abad pertengahan yang berdasarkan feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]

1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2. Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan derajat;
3. Tidak ada kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4. Hubungan antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari lembaga-lembaga hukum perdata Romawi;
5. Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan negara-negara itu  tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara di dalam mematuhi hukum ini;
6. Tidak ada pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan ditaatinya hukum internasional;
7. Anggapan terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu penggunaan kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai tujuan nasional (perang yang benar).

          Dasar-dasar Perjanjian West Phalia kemudian  diperkuat oleh Perjanjian Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium) yang dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39]
          Dengan pertumbuhan negara-negara merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dalam hubungan timbal balik di antara negara-negara tersebut. Di Italia misalnya, banyak negara kecil yang merdeka, mengadakan hubungan diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia luar. Hubungan-hubungan ini melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang diplomatik seperti, pengangkatan, penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40]
          Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah banyak para ahli hukum yang mengarahkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan dan menulis aneka masalah hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan hukum yang mengatur segi-segi hubungan antara negara-negara. Para penulis tersebut adalah Vittoria (1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli (1502-1575) dan Gentilis (1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari Jerman, Fernando Vasquez de Mancaca (1512-1569) dari Spanyol, Baltazar Ayala (1548-1584)  dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan Grotius (1583-1645), ahli hukum dari  Belanda. 
          Dari sekian banyak penulis tersebut,  Grotiuslah yang dipandang sebagai bapak hukum internasional.  Ini disebabkan karena ajarannya memiliki nilai intrinsik yang tinggi  dan sesuai dengan panggilan jaman. Ajarannya    didasarkan pada  hukum alam yang telah disekulerkan. Ia memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional. Selain itu, ia banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di samping hukum alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah yang meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional, yang sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis.
          Akan tetapi, tidak semua ahli hukum internasional menyetujui Grotius sebagai bapak hukum internasional. Oppenheim misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak hukum internasional kepada Grotius berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada sarjana yang menulis di bidang hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah Francisco Vittoria dan Alberico Gentili.[41] Beberapa penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius sebagai bapak hukum internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius banyak mendapat ide dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti tulisan-tulisan Gentilis, Ayala dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius maupun Gentilis banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42]
          Penulis-penulis terkemuka setelah Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya bagi perkembangan hukum internasional adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf (1632-1694), Guru Besar Universitas Heidelberg, Binkershoek (1673-1743), seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf (1609-1764), seorang ahli hukum dan filsafat Jerman dan Emerich Vattel (1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss. Mereka pada umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam dan positivist.
          Pufendorf dan Wolf adalah para penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf, hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal manusia, yang mengatur kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik ia hidup berorganisasi di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan teori Civitas Maxima. Teori ini memandang hukum internasional sebagai hukum dunia yang belaku pada Negara Dunia, yang  meliputi negara-negara di dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah penganut positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum yang terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak hukum alam secara mutlak.[43]
          Emerich Vattel dapat digolongkan sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut. Karya Vattel memiliki pengaruh besar bagi perkembangan hukum internasional di kemudian hari, utamanya di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya penting karena:[44]
1. tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2. tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian dan pengembangan konsep  dan pembahasan persolan hukum internasional secara sistematis.
          Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan antar bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan antar  bangsa  ini  melahirkan  asas-asas  dan gagasan-gagasan    baru   yang memperkaya hukum internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk mengubah atau menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap sebagai serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan negara, perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
          Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon ditetapkan kembali garis batas negara-negara di Eropa di samping larangan perbudakan secara internasional. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol yang disebut Protokol Aix-la-Capelle (1818) yang masih bertahan sampai sekarang.
          Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46]
          Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal, antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance, 1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara ini gagal, karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika. Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melalui Holy Aliance, dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan dalam tingkat kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung  oleh munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban Eropa, pemodernan pengangkutan dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan pengaruh temuan-temuan baru. Keadaan ini mendesak untuk adanya  aturan yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas, penyelesaian sengketa melalui lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal balik.[48]
          Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk pertamakalinya konferensi internasionaldipergunakan secara sadar untuk melahirkan konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian yang berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49]
          Perkembangan penting  berikutnya,  terjadi  pada  abad ke-20. Pada permulaan  abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag II, tahun 1907.  Hasil terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I dan II selain dari Konvensi-konvensi di bidang hukum perang  adalah dibentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50]
          Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan 1907  mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap konsolidasi. Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:[51]

1. Negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan. Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yaitu setelah terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata negara masih berada di tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan yang dipegang beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-benar menjadi negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk baru;
2. Konferensi-konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara berkala merupakan langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai masyarakat hukum. Konferensi yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif masyarakat internasional. Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan hukum internasional  melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi hukum internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian penting dalam mewujudkan masyarakat hukum internasional.  Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini kemudian diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921, yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa internasional tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat penting dalam masyarakat hukum.

          Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1) Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand- Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52]
          Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru bagi masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional.
          Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional adalah tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara aktif di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai forum internasional.[53]
          Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa beradab (civilized states)  dan dunia sisanya, hubungan yang sebagian besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil negara terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai dengan hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara Anggota “Klub” sejauh  klub tersebut menjamin satu dengan lainnya memiliki kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh (full reciprocity). Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang agak berbeda yang mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional  yang terbatas pada klub ekslusif, dan  di sisi lain, sekumpulan bangsa asing (overseas peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54] 
          Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik, tidak lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu sistem norma  dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama (hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law) yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c) Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law)….. [55]   
           









Tidak ada komentar:

Posting Komentar