Selasa, 07 April 2015

sejarah dan tata hukum negara belanda

. Sistem Hukum Belanda
Di negara Belanda, hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Namun akibat penjajahan Perancis (1806 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper untuk menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Belanda. Konsep kode hukum Belanda menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari negara Belanda), karena mereka lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya kode hukum Belanda sebagian besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code Napoleon, melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus Juris Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak berdasar pada hukum Perancis melainkan berdasar pada peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang kemudian menjadi himpunan hukum yang berlaku khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis, hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang saja (kelompok gilde). Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada abad XVI-XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yan belum sepenuhnya dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert, dan tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis, kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk yang bukan pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.
Mengenai kodifikasi dapat diketengahkan, bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum secara resmi dalam suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus berkembang, sehingga hukumnya dituntut untuk ikut terus berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi adalah hukum selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-maslaah yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai suatu produk yang dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan dan secara sempurna, melainkan masih tercipta kekosongan hukum dalam arti masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka alam menyelesaikan masalah-masalah yang belum diatur tersebut dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak berlaku asas stare decisses seperti di Inggris, yurisprudensi tetap dapat terjamin karena adanya kontrol dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih rendah.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan perkembangan hukum di Inggris, maka perkembangan hukum di Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudian menjadi undan-undang menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.
Jadi, Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana juga kita mengenalnya dengan beberapa kitab, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi dari hukum Napoleon.
Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan Kodifikasi dari hampir keseluruhan aturan mengenai hubungan pribadi dengan pribadi. BW ini dibuat berdasarkan system konkordansi sejak pemerintahan Napoleon di Perancis. Sebelum dilakukan kodifikasi, setiap wilyah di Belanda memiliki aturannya masing-masing yang sebagian besar mengacu pada aturan Roma. Tidak ada kesatuan hukum. Namun hal ini tidak bertahan lama karena setiap aturan tidak mampu mengikuti dinamisme perkembangan pemerintahan dan politik. Pada tahun 1531, Charles V, Raja Spanyol di Belanda, memerintahkan agar dilakukan suatu kodifikasi dari hukum-hukum yang berlaku di masyarakat untuk membentuk suatu unifikasi hukum. Perintah tersebut lah merupakan awal dibentuknya BW yang memakan waktu cukup lama hingga akhirnya disahkan oleh Parlemen Belanda pada tahun 1838.
Sejak terbentuk, pada tahun 1838, Burgerlijk Wetboek telah mengalami beberapa kali amandemen dan reformasi besar pada tahun 1992 mengikuti pergerakan hukum dengan dinamismenya. Tetapi penerapan di Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari asas konkordansi, masih tetap menggunakan BW yang dibuat pada tahun 1838 (kecuali dicabutnya aturan mengenai Hipotik dan beberapa perubahan pada pasal-pasal sebagai konsekuensi dari lahirnya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria di Indonesia) dan masih dapat mencakup hampir keseluruhan aspek yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Setiap pasal dalam BW membahas secara detail mengenai aturan yang membatasi setiap hubungan antar individu. Meskipun BW ini bersifat terbuka yakni dapat membuat aturan baru selama tidak bertentangan dengan undang-undang; ketertiban umum; dan kesusilaan, seperti halnya diatur dalam pasal 1338 BW, namun tetap melindungi dan memberikan batasan hubungan individu sampai hal terkecil. Kita ambil contoh aturan mengenai batas pekarangan sehingga apabila terjadi suatu hal, dapat diketahui konsekuensi hukumnya. Hal ini lah yang membuat saya benar-benar kagum. Bagaimana bisa orang-orang pada tahun 1800 membuat aturan sedetail itu yang masih dapat mengikuti dinamisme dan perkembangan zaman hingga saat ini.
Selain itu, berdirinya Peradilan Internasional seperti Mahkamah Internasional, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, International Criminal Justice serta International Criminal Court di Belanda juga membuat saya semakin kagum karena membuktikan bahwa system peradilan mereka, terutama Criminal Justice System, diakui secara Internasional.
Ada asumsi bahwa hukum Belanda sama dengan hukum prancis. Padahal setiap negara mempunyai karakter hukum masing-masing. Di Prancis, Gereja tidak punya hak atas tanah dan hak atas tanah dijadikan uniform. Sedangkan di Belanda, gereja memiliki hak atas tanah yang mutlak. Sejarah Prancis dimana pemerintah sangat kuat dan masyarakat berlapis lapis maka parlemen dan peradilan menjadi perwakilan dan alat dr negara yang abusif. Sebaliknya di belanda peradilan adalah alat masyarakat dalam mendukung ekonomi dan perdagangan.
Pengadilan Belanda lebih mengutamakan kepastian hukum dan peradilan menjadi identitas wilayah. Belanda mengutamakan organisasi masyarakat, sedangkan di Prancis atau portugal organisasi masyarakatnya sangat lemah. Pelaksanaan sistem hukum di Belanda lebih mirip dengan di Inggris. Sedangkan di Perancis, hakimnya kurang mendapat kepercayaan karena trauma sejarah bahwa sistem peradilan adalah sistem yang mengokohkan kekuasaan penguasa.
Sebaliknya, kondisi di Belanda, hakim merupakan profesi yang mendapatkan kepercayaan dari publik. Bahkan dalam pelaksanaan putusan di belanda dilakukan oleh juru sita yang bersifat otonom dan pengadilan tidak berhubungan sama sekali dg pelaksanaan putusan. Sampai batas nilai 25ribu euro, juru sita bisa mengambil tindakan apapun atas pelaksanaan putusan. Namun setiap minggu juru sita harus melaporkan tentang harta kekayaan dan laporan2 lainnya. Termasuk harta kekayaan istri dan anaknya. Sementara di banyak negara pelaksanaan putusan dipegang oleh pengadilan. Jika pelaksanaan putusan tidak sesuai dengan panduan pengadilan maka juru sita harus selalu meminta petunjuk pada pengadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar