BAGIAN
I
BAB
I
PENDAHULUAN
Yang dimaksud dengan hokum laut
internasional di sini adalah hukum laut internasional public (international
law of the sea) , bukan hokum laut internasional perdata (Maritime Law).
Oleh karena itu di sini tidak akan dibahas mengenai pengangkutan laut, asuransi
laut, tabrakan kapal dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari pembahasan
hokum laut internasional perdata.
Kajian ini terdiri dari empat bagian.
Bagian pertama membahas keadaan hokum laut internasional sebelum tahun 1930, di
sini akan diuraikan konsepsi-konsepsi yang berkenaan dengan hokum laut, batas
lebar laut yang dapat dijadikan sebagai bagian dari wilayah Negara dan
upaya-upaya untuk memperluas lebar laut wilayah dan penetapan lebar laut
wilayah yang seragam.
Bagian kedua menguraikan keadaan hokum laut international antara tahun 1930 dan
1958. Di dalam bagian akan dibahas kelanjutan dari upaya-upaya perluasan dan
penyeragaman laut wilayah, timbulnya rezim-rezim hokum baru seperti landas
kontinen, dan konsep Negara kepulauan (archipelago states). Rezim-rezim
hokum baru tersebut bersama-sama dengan tuntutan perluasan laut wilyah
diupayakan untuk dapat diterima dalam bentuk hokum perjanjian internasional.
Dan, ini diperjuangkan sejak Konferensi Hukum Laut I Jenewa 1958 dan II tahun
1960.
Bagian
ketiga menguraikan tentang keadaan hokum laut internasional setelah tahun 1960
sampai dengan tahun 1982, yaitu tahun ditandatanganinya Konvensi hokum Ketiga (United
Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Pada bagian ini dibahas
tentang pembagian kawasan laut, serta perkembangan lebih lanjut dari
konsep-konsep hokum laut serta timbulnya rejim-rejim hokum baru yang mencakup
konsep dasar laut dalam (deep sebed area) sebagai warisan bersama umat
manusia (common heritageof mankind) sebagai zona eksklusif.
Bagian
keempat tentang Konvensi Hukum Laut III 1982, menguraikan proses pegundangan
Konvensi hokum Laut III 1982 pada bulan Desember 1982 samapi degan ratifikasi
dan aksesinya pada 16 Nopember 1996, pembagian kawasan laut berdasarkan
Konvensi Hukum Laut III 1982, pelestarian lingkunan laut, penelitian ilmiah
kelautan dan penyelesaian sengketa kelautan.
B. ARTI PENTINGNYA LAUT
Laut
memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pentingnya laut bagi kehidupan
manusia sudah dirasakan sejak dahulu kala. Kegiatan perikanan dan pelayaran
sudah dikenal sejak masa perpindahan nenek moyang manusia untuk menyebar ke
seluruh belahan dunia.
Kegiatan
perikanan yang masa lalu dilakukan secara tradisional sekarang dilaksanakan
secara professional dengan mempergunakan peralatan canggih. Dalam kegiatan ini,
usaha perikanan juga dapat dilakukan dengan menggunakan perusahaan-perusahaan
asing untuk turut serta melakukan kegiatan perikanan di Negara-negara pantai
bersangkutan, misalnya dengan usaha patungan (joint venture) atau bagi
hasil (profit sharing). Penggunaan alat canggih dalam kegiatan perikanan
serta semakin tingginya kebutuhan akan protein hewani mendorong semakin
meningkatnya jumlah tangkapan dari 20 juta ton pada tahun 1950 menjadi 70 juta
ton pada tahun 19701, dan akan meningkat terus sampai 200 juta ton
per tahun.2
Selain
ikan, laut juga kaya akan biota laut lainnya, dan berbagai macam mineral. Dasar
laut misalnya kaya dengan mineral seperti tembaga, kobal dan nikel yang dapat
dikonsumsi selama ribuan tahun,3 bungkahan mangan, campuran
belerang, minyak dan gas bumi yang terdapat di berbagai kawasan laut.
Diperkirakan terdapat sekitar 1,13 milyar barel cadangan terbukti, dan 101,7
trilyun kaki kubik gas bumi dan cadangan potensial 57,3 trilyun kaki kubik.4
diperkirakan 60% dari persediaan minyak bumi terletak di dataran kontinen,
selanjutnya apda landasan kontinen (continental slope) banyak terdapat
fosfor, dan di dasar laut dalam (seabed area) terdapat nodul mengandung
25% mangan, 15% besi danbahan-bahan lainnya seperti nikel dan tembaga.5
Selanjutnya
air laut juga penting sebagai sumber penyediaan air tawar. Air laut dapat
dijadikan air tawar melalui proses penyulingan dan pencairan gunung es.
Penyulingan air laut banyak dilakukan di Negara-negara Timur Tengah seperti
Arab Saudi dan Kuwait. Mengenai penyediaan airlaut dan gunung es, menurut
penyelidikan para ahli, sebuah gunung es sepanjang 10 mil dapat diseret selama
1 tahun dan kehilangan separuhnya dalam perjalanan dan sisanya akan diperoleh
air tawar sekitar 250.000 juta gallon air tawar. Selain itu, air laut juga
mengandung bahan-bahan kimia dan mineral. Diperkirakan ada 317 juta kubik mil
air laut, setiap kubiknya mengandung lebih dari 60 macam zat, mulai dari
oksigen, hydrogen (terbanyak), emas dan radium (terkecil).
Tak
kalah pentingnya, laut juga dapat dijadikan sebagai prasarana perhubungan dan
pariwisata. Terkait denganhal ini telah dikembangkan berbagai sarana dan
prasarana pendukung seperti prasaran dan saran transportasi dan akomodasi.
Semuanya ini tentunya akan dapat menyediakan lapangan kerja, dan dengan
demikian akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
BAB
II
KONSEPSI
TENTANG LAUT
Sejak
dahulu kala telah terdapat dua konsepsi mengenai laut, yaitu: res nullius dan
res commanis.
1.
Res nullius, berpendapat bahwa laut sebagai ranah tak bertuan, atau
kawasa yang tidak ada pemiliknya. Karena tidak ada pemiliknya, maka laut dapat
diambil atau dimiliki oleh masing-masing Negara.
2.
Res communis, berpendapat bahwa laut adalah milik
masyarakat dunia, karena itu tidak dapat diambil dan dimiliki secara individual
oleh Negara-negara. Sebagai milik bersama, maka laut harus dipergunakan untuk
kepentingan semua Negara, dan pemanfaatannya terbuka bagi semua Negara.
Ini sesuai dengan pendapat Ulpian yang menyatakan bahwa “the sea is open to
everybody by nature”, dan Celcius yang menyatakan “ the sea like the air, is
common to all mankind”.1
A. PRAKTIK NEGARA-NEGARA
Dalam
pelaksanaannya, kedua teori tersebut tak dapt diterapkan secara kaku. Keduanya
saling melengkapi, yakni dalam batas-batas tertentu dapat dimiliki, tetapi
dibatasi sampai jarak tertentu ini dapat dilihat dalam praktik yang dianut
Negara-negara sejak dahulu sampai sekarang.2
1. Zaman sebelum Romawi
Punisia kuno, sebuah kerajaan sebelum zaman Romawi menganggap laut yang mereka
kuasai sebagai milik Negara mereka. Paham ini juga dianut oleh bangsa Persia,
Yunani dan Rhodia. Di zaman Rhodia, hokum laut telah mulai berkembang, yang
kemudian menjadi dasar bagi Hukum Romawi tentang laut.
2. Zaman Romawi
Setelah perang Punis III Romawi telah menjadi penguasa tunggal di Laut Tengah.
Laut Tengah kemudian dianggap oleh orang-orang Romawi sebagai “danau” mereka.
Dalam melaksanakan kekuasaannya di laut tersebut banyak tanda yang menunjukkan
bahwa dalam pandangan orang Romawi laut bias dimiliki. Orang Romawi memandang
laut sebagai “public property” yakni sebagai milik Kerajaan Romawi.
3. Setelah Zaman Romawi
Setelah zaman Romawi terdapat banyak Negara di sekitar Laut Tengah yang
merupakan pecahan dari Kerajaan Romawi. Negara-negara ini menuntut laut yang
berdekatan dengan pantai mereka sebagai wilayah mereka. Karena itu masa ini
dipandang sebagai awal dari berkembangnya konsep laut wilayah.
Tuntutan atas kepemilikan laut ini misalnya dilakukan oleh: (a) Venesia yang
menuntut sebagian besar Laut Adriatik. Tuntutan ini diakui oleh Alexander III
pada
Tahun 1117. Di kawasan ini Venesia
memungut kepada setiap kapal yang melewati kawasan laut Adriatik, (b) Genoa
menuntut Laut Liguarian dan sekitarnya, dan (c) Pysa menuntut dan melaksanakan
kedaulatannya atas laut Tyraania.
Tuntutan-tuntutan itu cenderung menimbulkan penyalahgunaan hak oleh
Negara-negara tersebut (misalnya memungut biaya pelayaran). Untuk mengatasi hal
ini, para penulis pada waktu itu membatasi tuntutan tersebut sampai batas
tertentu saja. Misalnya, Bartolus, Solorzan dan Cosaregis membatasi laut Negara
pantai itu sampai 100 mil Italia (pada waktu itu = 1480 m). Baldus, Bodin dan
Targa membatasinya sampai 60 mil, Loccanius membatasinya sampai batas yang
diinginkan oleh Negara pantai tanpa merugikan negara tetangganya.
4. Zaman Portugal dan Spanyol
Jatuhnya Constantinopel ke tangan
Turki pada tahun 1443, menyebabkan bangsa Portugis mencari jalan laut lain ke
timur menuju Indonesia melalui Samudera Hindia. Selain itu, Portugal juga
menuntut Laut Atlantik sebelah selatan Maroko sebagai wilayah mereka. Bersamaan
dengan ini, Spanyol sudah samapi di Maluku melalui Samudera Pasifik, dan
menuntut Samudera ini bersama dengan bagian Barat Samudera Atlantik dan Teluk
Mexico sebagai kepunyaan mereka.
Tuntutan kedua Negara ini diakui oleh Paus Alexander VI, yang membagi dua
lautan di dunia menjadi dua bagian dengan batas garis meridian 100 leagues (lk.
400 mil laut) sebelah Barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut
(Samudera Atlantik Barat, Teluk Mexico dan Samudera Pasifik) menjadi miliki
Spanyol, dan sebelah Timur (Atlantik sebelah Selatan Maroko, dan Samudera
Hindia) menjadi milik Portugal. Pembagian ini kemudian diperkuat dengan
perjanjian Tordissilias antara Spanyol dan Portugis (1494) dengan memindahkan
garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah Barat Pulau0pulau Cape Verde di
pantai Barat Afrika.
Sementara itu, Swedia dan Denmark menuntut kedaulatan atas Laut Baltik, dan
Inggris atas Narrow Seas, dan Samudera Atlantik dari Cape Utara sampai ke Cape
Finnistere,3 atau laut di sekitar kepulauan Ingrris (Mare
Anglicanum).4 dan untuk melaksanakan kedaulatannya atas
laut-laut tersebut, pada abad ke-17 Inggris memaksa orang-orang asing untuk
mendapat lisensi Inggris untuk melakukan penangkapan ikan di Laut Utara, dan
ketika dalam 1636 Belanda mencoba menangkap ikan, mereka diserang dan dipaksa
mebayar 30.000 found sebagai harga kegemaran (the price of indulgence).5
5. Belanda
Tuntutan kedaulatan atas Samudera Pasifik, Atlantik, dan Hindia oleh Portugal
dan Spanyol serta kedaulatan atas Mare Anglicanum oleh Inggris dirasa
sangat merugikan Belanda di bidang pelayaran dan perikanan. Di bidang pelayaran
Belanda sudah sampai di Indonesia melalui Samudera Hindia pada tahun 1596, dan
mendirikan Verenigde Oost Indische Compgnie (VOC) pada tahun 1602.
Penerobosan melalui Samudera Hindia ini langsung berbenturan dengan kepentingan
dan tuntutan Portugal. Di bidang perikanan orang-orang Belanda selama
berabad-abad telah menangkap ikan di sekitar perairan Mare Anglicanum, dan
kegiatan ini telah dijamin oleh berbagai perjanjian antara kedua Negara.
Untuk memperkuat dalil penentangannya atas kepemilikan laut, Belanda berusaha
mencari dasar-dasar hokum yang menyatakan laut adalah bebas untuk semua bangsa.
Untuk kepentingan ini Belanda menyewa Hugo de Groot, seorang ahli hokum untuk
menulis sebuah buku yang membenarkan pendirian Belanda, shingga orang-orang
Belanda dapat bebas berlayar ke Indonesia. Hasilnya, Grotius menyusun sebuah
buku dengan judul “Mare Liberum”. Buku ini menguraikan teori kebebasan lautan
dalam arti bahwa laut bebas bagi setiap orang, dan tak dapat dimiliki oleh
siapa pun.
Teori
Gratius mendapat tentangan dari banyak penulis seangkatannya. Gentilis misalny,
membela tuntutan Spanyol dan Inggris dalam bukunya “Advocatio Hispanica” yang
diterbitkan setelah ia meninggal, tahun 1613. Pada tahun yang sama William
Wellwood membela tuntutan Inggris dalam bukunya “de Dominio Maris”.njohn Seldon
menulis Mare Clausum sive de Domino Marsnya pada tahun 1618 dan terbit
pada tahun 1635. Paolo Sarpi menerbitkan “Del Dominio del mare Adriatico” 1676
untuk membela tuntutan Venesia atas laut lautan Adriatik. Yang terpenting dari
buku-buku yang membela kepentingan kepemilikan atas laut adalaah Mare Clausum
Shelden. Karya ini diperintahkan untuk diterbitkan pada tahun 1635 pada
masa raja Charles I, yang meminta agar penulis Mare Liberium dihukum.6
6. Inggris
Pada mulanya, sebelum tahun 604 Inggris menganut faham kebebasan lautan. Faham
ini dianut terutama untuk menghadapi tuntutan Denmark atas kebebasan di laut
Utara.. namun dalam tahun 1604 Charles I memproklamirkan “King Chamber Area”
yang meliputi 26 wilyayah di sepanjang dan sekitar lautan Inggris (Mare
Anglicanum) sebagai wilayah kedaulatan Inggris. Di daerah-daerah ini,
diantaranya ada yang melebihi 100 mil, Charles I melarang kapal-kapal nelayan
asing menangkap ikan di kawasan tersebut. Tuntutan ini ditentang oleh Belanda.
Dalam
perkembangan selanjutnya, umum diterima bahwa Negara-negara dapat memiliki
jalur-jalur laut yang terletak di sekitar atau di sepanjang pantainya, dan di
luar jalur-jalur tersebut dianggap bebas bagi semua umat manusia. Beberapa
jalur laut yang dapat dimiliki tidak sama untuk semua Negara, dan ini
tergantung pada jenis dan fungsi jalur-jalur tersebut. Lebar laut untuk
kepentingan perikanan misalnya, tidak sama dengan untuk kepentingan netralitas,
pengawasan pabean dan kepentingan yurisdiksi perdata, pidana dan lain-lain.
B. PERKEMBANGAN AJARAN HUKUM LAUT
Dalam abad ke-17 dapat dikatakan telah lahir dua ajaran (doktrin) di bidang
hokum laut internasional, yaitu ajaran Mare Liberium, yang menegaskan
bahwa laut tidak bias dimiliki oleh siapa pun; dan Mare Clausum, yang
menyatakan bahwa laut dapat dimiliki. Pendapat pertama dianut Belanda, dan yang
kedua, antara lain, dianut Inggris, Spanyol, dan Portugal. Kedua ajaran ini
pada hakekatnya sama dengan teori res nullius (mare clausum), dan res communis
(mare liberium).
Kedua ajaran ini timbul akibat dari pertentangan Belanda atas penguasaan laut
di dunia oleh Portugal dan Spanyol, serta untutan Inggris atas kawasan Mare
Anglicanum. Pertentangan antara Negara-negara ini terutama antara Belanda dan
Inggris menimbulkan the Battle of books (perang buku).perang buku ini
berlangsung kurang lebih 50 tahun dan berakhir dengan terjadinya perang antara
Inggris dan Belanda pada tahun 1665. Perang buku ini umumnya berkisar pada dua
teori tersebut.
1. Mare Liberum
Sebenarnya,
sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare Liberum dalam tahun 1609 oleh
Grotius, ajran ini telah dianut oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu
Inggris, Elizabeth menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam bukunya De
Potestate Legis Poenalis, Vasculus Menchaca (1509-1569)di Portugal dalam
bukunya Controverslae Illustris, Alberto Gentilldi Italia dalam bukunya de
Jure Belli menganut teori ini.
Di
antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal adalah Hugo de Groot,
yang menulis pandangannya mengenai kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum
yang terbit tahun 1608 tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum,
Grotius berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh negara.7 Pendapat
ini sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership). Menurutnya,
ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi melalui possession, dan
possession hanya bias terjadi melalui pemberian atau melalui occupation.
Occupation atas barang-barang bergerak dapat terjadi melalui hubungan fisik
atas barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak bergerak dapat
terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya (“by power of standing and
sitting11). Karena itu pemilikan hanya dapat terjadi atas
barang-barang yang dapat dipegang teguh. Dan untuk dapat dipegang diteguh
benda-benda tersebut harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak
berbatas, karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair, dan
sesuatu yang cair hanya dapat dimiliki dengan memasukkan ke tempat yang lebi
padat (peraliud). Dengan demikian, tuntutan pemilikan laut berdasarkan
penemuan (discovery), penguasaan dalam jangka waktu lama (prescription)
ataupun servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an untuk
memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian, Grotius mengakui bahwa anak
laut, inner sea, dan sungai sekalipun cair dapat dimiliki karena ada batasnya,
yaitu tepinya dapat dianggap sebagai per allud.8
2. Mare Clausum
Ajaran
Grotius mengenai mare liberum sebagaimana disebutkan di atas mendapat tantangan
dari berbagai penulis sejamannya. Mereka antara lain Gentilis, William Welwood,
John Borough, Paulo Sarol, dan John Shelden.9 Tantangan atas ajaran
Grotius mencegah kemenangan teorinya atas kedaulatan pada bagian-bagian
tertentu dari laut bebas pada waktu itu. Kemajuan yang dibuat berdasarkan teori
mare liberium hanya dalam satu hal, yaitu kebebasan pelayaran (freedom of
navigation) di laut.10
Yang
terpenting dari para penentang Grotius adalah John Sheldon. Penentangnya ini
dikemukakan dalam bukunya “Mare Clausum: the Right and Dominion In the Sea
(1636). Menurut Sheldon, okupasi memang penting bagi kepemilikan. Namun,
sejarah telah membuktikan bahwa Negara-negara telah menjalankan kekuasaan
mereka atas lautan, dank arena itu melalui prescription itu dapat dimiliki.
Karenanya laut itu bukan mare liberium tetapi mare clausum. Sifatnya yang cair
tak menyebabkan laut tak dapt dimiliki, karena sungai dan perairan di sepanjang
pantai yang cair diakui dapat dimiliki.11
3. Jalan Tengah
Kenyataan
membuktikan bahwa dalam berbagai bidang pertentangan pendapat kerap melahirkan
pendapat ketiga yang bersifat ecletic yang mencari jalan tengah dengan
menggabungkan sisi-sisi positif dari teori-teori yang saling bertentangan itu.
Dalam
kaitannya dengan dapat tidaknya laut dimiliki ternyata, kedua teori tersebut
tak dapat mempertahankan ajarannya dengan kaku dan konsekuen. Grotius misalnya,
dalam De Jure Bell ac Pacis (1625) menyatakan bahwa laut di sepanjang
pantai dapat dimilki sejauh dapat dikuasai dari darat.12 Demikian
pula Shelden. Selain mengakui hak Inggris atas Mare Anglicanum juda mengakui
adanya hak lintas damai (innocent pessage) di laut-laut yang dituntut
itu. 13
Dengan
demikian, maka pada masa itu telah diakui ada bagian laut yang dapat dimiliki,
yaitu bagian laut yang sekarang disebut laut wilayah dan jalur-jalur laut
lainnya seperti jalur perikanan; dan laut yang tak dapat dimiliki oleh siapapun
(laut bebas). Dalam abad ke 18 semua penulias, mengadakan pembedaan laut atas
kawasan laut (maritime belt) yang dianggap berada di bawah kekuasaan
negara-negara pesisir (the litoral state), dan laut bebas (open sea)
yang tidak berada di bawah kekuasaan negara lain.14 Pontanus seorang
ahli hokum Belanda, menyebut laut-laut yang dapat dimiliki mare audience, dan
laut yang tidak bias dimiliki mare alterium.15
Persoalannya
adalah berapa jarak laut yang dapat dimiliki. Ini baru dapt dipecahkan pada
tahun 1702 ketika seorang ahli hokum Belanda, Binkhersoek, mengemukakan teori canon
shot rule. Menurutnya, laut wilayah suatu negara adalah sampai jarak
tembakan meriam dari pantai. Tampaknya ajaran ini pertama-tama dilandasi dari
pengawasan nyata dari pelabuhan atau perbentengan terhadap kawasan laut yang
berdeatan dengan pantainya.16
Ajaran
ini dikemukakan di bukunya De Dominio Maris Disertasio.17 namun
ajarannya ini belum secara pasti menentukan berapa mil jarak laut yang dapt
dimiliki oleh negara. Untuk itu para penulis waktu itu berupaya mendapatkan patokan
yang sama dengan atau pengganti dari jarak berdasarkan jangkauan meriam
tersebut. Dan, seorang penulis Italia, Gallani (1872) mengusulkan batas 3 mil
atau 1 league Italia sebagai pengganti dari jarak jangkauan meriam tersebut.
Batas ini diakui oleh Amerika Serikat dalam Notanya kepada Inggris dan
Perancis. Pada 8 Nopember 1873, dalam kaitannya dengan netralitas, dan selama
dan setelah perang Napoleon, prize court (pengadilan penyitaan kapal) Inggris
dan Amerika Serikat menerjemahkan the canon shoot rule, ke dalam 3 mil
laut,18 atau tiga kali 1852 meter.19
Sementara
itu sepanjang abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 sebagai akibat dari pelayaran
negar-negara lain (selain Portugal, Spanyol dan Belanda = pen) perjuangan
kebebasan di laut semakin berat, dan pada akhir kwartal pertama abad ke-19
kebebasan di laut bebas itu diakui secara semesta. Inggris sendiri yang semula
menjadi penentang konsep laut bebas mengurangi tuntutan kedaulatan maritimnya,
dan menjadi pemimpin baru kebebasan di laut bebas.
BAB III
UPAYA UPAYA PERLUASAN LEBAR LAUT WILAYAH
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya, sejak tahun 1702 lebar laut wilayah ditetapkan
berdasarkan jarak jangkauan meriam yang dipasang di pinggir pantai, dan
kemudian pada tahun 1872 diterjemahkan oleh Gallani menjadi 3 mil laut.
Walaupun batas lebar laut wilayah ini diterima oleh banyak negara aturan 3 mil
ini sejak semula tidak dianut secara seragam. Banyak negara meggunakan ukuran
lain seperti Swedia dan Norwegia menggunakan ukuran 4 mil, Spanyol, Italia dan
Yunani menggunakan batas 6 mil dan Mexico 9 mil.1
Ukuran
3 mil tersebut dirasakan semakin tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kemajuan teknologi dalam bidang persenjataan dan pelayaran. Tuntutan bagi
peninjauan kembali lebar laut wilayah tersebut semakin tinggi. Lebih-lebih
dengan munculnya berbagaiorganisasi dan lembaga yang membahas masalah-masalah
tersebut. Lembaga-lembaga dan organisai tersebut adalah:2
B. LEMBAGA-LEMBAGA HUKUM
INTERNASIONAL
1. Institute de Droit Internasional
Institute
de Droit International telah membahas lebar laut wilayah ini dalam
siding-sidang di Lausanne (1888), Hamburg (1891), dan Paris (1894). Dalam
sidangnya di Paris Lembaga ini menerima resolusi yang isinya:
·
Lebar laut wilayah untuk kepulauan tidak perlu sama dengan lebar laut untuk
keperluan lainnya misalnya untuk periklanan dan netralitas.
·
Ajaran lebar laut wilayah 3 mil (semula untuk kepentingan pertahanan) sudah tak
mencukupi lagi untuk kepentingan perikanan (terkait dengan kepentingan ekonomi
dan kebutuhan hidup penduduk pantai).
·
Kedaulatan negara atas laut wilayahnya diakui, dan tunduk pada hak lintas
damai.
·
Lebar laut wilayah secara keseluruhan disarankan 6 mil.
·
Teluk sejarah diakui statusnya, dan teluk yang lebar mulutnya kurang 12 mil
dapat ditarik garis pangkal di mulutnya itu. Lebar laut wilayah dapat ditarik
dari garis pangkal tersebut, dan tidak lagi mutlak dari garis pantai (garis air
rendah) seperti ketentuan sebelumnya.
·
Dalam masa perang dapat ditetapkan kawasan netral (neutral zone) di luar
wilayah 6 mil itu sampai jarak tembakan meriam sesungguhnya dari darat.
·
Hak pengejaran (hot pursuit right) dan hak lintas damai (innocent passage
sight) diakui.
Namun,
dalam sidangnya di Stockholm (1928) lembaga tersebut menyatakan bahwa:
·
Lebar laut wilayah adalah 3 mil, sekalipun batas yang lebih lebar dapat
diterima berdasarkan hokum kebiasaan internasional
·
Panjang garis pangkal ditetapkan 10 mil.
·
Prinsip archipelago diakui keberadaannya, tetapi jarak antara pulau-pulau tidak
boleh melebihi dua kali lebar laut wilayah. Dengan demikian maka kepulauan yang
berbentuk kepulauan dapat diukur dari garis-garis pangkal yang menghubungkan
titik-titik terluar pulau-pulau terluar dari kepulauan tersebut.
2. Perhimpunan Hukum Internasional
(International Law Association)
Pembicaraa
tentang hokum laut terutama penentuan lebar laut wilayah telah dilakukan
lembaga ini dalam berbagai konferensinya, di London 1887, Jenewa 1892 dan
Bussel 1895.
Dalam
sidangnya di Brussel antara lain ditetapkan sebagai berikut:
·
Prinsip lebar laut wilayah 6 mil;
·
Garis pangkal mulut teluk 10 mil;
·
Negara pantai berhak menetapkan sendiri zona netralnya;
·
Selat yang kedua tepinya milik suatu negara menjadi milik negara tersebut. Jika
ada kantong laut bebas di tengahnya, maka kantong-kantong ini juga diakui
sebagai milik negara tersebut;
·
Hak hot pursuit negara pantai juga diakui.
Namun,
dalam sidangnya di Stockholm 1924 ILA menetapkan sabagai berikut:
·
Lebar laut wilayah 3 mil;
·
Garis pangkal mulut teluk 12 mil;
·
Hak lintas damai (innocent passage right) diakui.
3. Harvard Research
Dalam
rangka menghadapi hokum laut yang direncanakan diselenggarakan di Den Haag pada
tahun 1930 oleh Liga Bangsa-Bangsa, Universitas Harvard mengadakan riset sejak
tahun 1927, dan pada tahun 1929 universitas ini menghasilkan sebuah dokumen.
Di
dalam dokumen ini antara lain menyatakan:
·
Prinsip lebar laut wilayah3 mil diterima dengan pengertian bahwa negara-negara
pantai masih dapat melaksanakan kekuasaan mereka di luar batas tersebut
misalnya untuk keperluan perikanan dan lain-lain.
·
Panjang maksimum garis pangkal untuk adalah 10 mil.
·
“Hak hot pursuit” di laut bebas dan “hak innocent passage” di laut wilayah
diakui.
4. Lembaga Hukum Internasional
Amerika (American International Law Institute)
Di
dalam sidangnya di Rio de Jeneiro tahun 1927 badan ini mengakui:
a.
Negara pantai berdaulatatas laut wilayahnya, dasar laut dan tanah di bawahnya,
dan udara di atas laut wilayah tersebut;
b.
Bahwa kepulauan merupakan satu kesatuan dank arena itu perlu dilakukan sebagai
satu kesatuan.
Namun,
badan ini gagal menetapkan berapa lebar laut wilayah tersebut menurut hokum
internasional.
-LIGA BANGSA-BANGSA
Tidak
adanya keseragaman dalam penentuan lebar laut wilayah, telah menarik perhatian
Liga Bangsa-Bangsa. Oleh karena itu sejak tahun 1924 telah diadakan riset yang
mendalam guna menyusun kodifikasi hokum laut tersebut melalui suatu konferensi
internasional.3 Tujuan utamanya adalah untuk mengkodifikasikan hokum
laut tersebut dari berbagai buku yang ada, bukan untuk membuat (law-making)
hokum yang baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman dan keadaan.
Dari
hasil tersebut kemudian dalam tahun 1929 berhasil disusun sebuah Basis of
Discussion yang akan dibahas dalam konferensi tersebut. Dalam Basis of
Discussion tersebut antara lain ditegaskan bahwa kedaulatan negara pantai
di atas laut wilayahnya diterima dan prinsip lebar laut wilayah 3 mil diterima
dengan kemungkinan mengadakan “contiguous zone” sejauh 12 mil dari pantai.
Dalam zona yang disebut terakhir ini negara-negara pantai dapat melakukan kewenangan
tertentu dan terbatas untuk maksud-maksud tertentu seperti; untuk kepentingan
karantina kesehatan, pabean, perikanan dan lain-lain.
Selanjutnya
pada tanggal 13 Maret-13 Aprl 1930 dilangsungkan Konferensi Hukum Laut di Den
hag untuk pertama kalinya. Konferensi ini mengakui:
·
Kebebasan berlayar di laut bebas;
·
Kedaulatan negara pantai atas laut wilayahnya;
·
Hak innocent passage diakui.
Akan tetapi, konferensi ini gagal
menetapkan hal yang paling poko yang menjadi dasar diadakannya konferensi ini
yakni membakukan lebar laut yang seragam.
- PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidangnya pada tanggal 21 Nopember 1947
menerima sebuah Resolusi untuk membentuk International Law Commission (ILC)
yang terdiri atas 15 orang ahli hokum “ yang memiliki kompetensi yang diakui
dalam hokum internasional” dan mewakili “bentuk-bentuk peradaban utama dan
system hokum penting di dunia”. Salah satu tugas ILC adalah mengkodifikasikan
hokum internasional.
Untuk
tujuan ini, ILC mulai bersidang pada 1949. Hasilnya, pada tahun 1955 dapat
dirumuskan proisiona; draft mengenai berbagai aspek hokum laut. Dalam
sidangnya, 30 April sampai 4 Juli 1949, ILC hanya sampai pada suatu pendapat
bahwa hokum laut internasional tidak memperbolehkan pelebaran aut wilayah
sampai 12 mil, padahal pada waktu itu praktik negara-negara memperlihatkan
penetapan lebar laut wilayah berkisar dari 3 sampai dengan 12 mil. Dari
hasil-hasil siding yang dilaksanakan sejak tahun 1949 tersebut dapat disusun
final draft, yang akan menjadi dasar pembahasan pada Konferensi Hukum Laut
pertam di Jenewa dari tanggal 24 Februari sampai dengan 27 April 1958.
Sementara
itu, tanggal 13 Desember 1957 Indonesia mengeluarkan Deklarasi mengenai
Perairan Wilayah Indonesia. Deklarasi ini, yang dikenal dengan Deklarasi
Juanda, menetapkan lebar laut wilayah Indonesia 12 mil, diukur dari garis-garis
yang menghubungkan titik-terluar yang menghubungkan pulau-pulau terluar
Indonesia.
Deklarasi
Juanda tentang Perairan Wilayah Indonesia 1957 didasarkan apda
pertimbangan-pertimbangan:
1)
Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagainegara kepulauan yang terdiri
dari beribu-ribu pulau memerlukan pengaturan tersendiri;
2)
Bahwa bagi kesatuan wilayah (teritorial) Indonesia semua kepulauan serta laut
yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat;
3)
Bahwa penetapan laut-laut teritorial yang diwarisi dari pemerintah colonial
sebagaiman termaktub dalam territorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie
1939 pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan
kemanan negara Republik Indonesia;
4)
Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil
tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi kebutuhan dan
keselamatan negaranya.
Cara pengukuran ini mengubah cara
pengukuran klasik laut wilayah Indonesia yang didasarkan Territorie Zee en
Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang diukur dari masing-masing-masing
pulau pada saat air surut (low waterlijn). Selain untuk menjamin keselamtan dan
keamanan negara Indonesia, Deklarasi ini memiliki makna yang sangat penting
bagi pertahanan Indonesia, karena kita sedang berkonfrontasi dengan Belanda di
Irian Barat, dan juga mengandung segi-segi politik.
Mengenai
segi politik ini, Mochter kusumaatmadja menyatakan sebagai berikut:
1)
Dari teks pernyataan pemerintah tanggal 13 Desember 1957 dan pertimbangan yang
melandasi tindakan tersebut jelas bahwa segi keamanan dan pertahanan merupakan
aspek yang penting sekali bahkan merupakan salah satu sendi pokok kebijakan
Pemerintah mengenai perairan Indonesia.
2)
Sendi pokok lainnya adalah menjamin integritas teritorial Indonesia sebagai
satu kesatuan yang bulat yang meliputi unsure tanah (darat) dan air (laut)
menggambarkan segi politik yang tak kalah pentingnya.
Di
samping segi-segi politik dan pertahanan keamanan tersebut, implikasi ekonomi
tentu tak boleh diabaikan. Sebab, dengan Deklarasi Juanda, luas Indonesia
menjadi dua kali lipat. Dan ini, dari segi ekonomi penting artinya, seperti
bertambah luasnya kawasan perikanan laut, dan pengembangan sumber-sumber daya
alam seperti pertambangan minyak dan gas lepas pantai.
Pernyataan
Pemerintah Indonesia yang menetapkan garis pangkal ditarik garis-garis yang menghubungkan
titik-titik terluar pulau-pulau terluar tidak bertentangan dengan hokum positif
yang berlaku. Sebelumnya, Norwegia pada 12 Juli 1951 mengeluarkan Norwegia
Royal Decree yang menetapkan garis pangkalnya berdasarkan straight
baseline from point to point, jadi tidak berdasarkan low water-marks.
Cara penarikan garis pangkal ini diterima oleh Mahkamah Internasional dalam
putusannya pada Anglo Norwegian Fisheries Case antara Norwegia dan
Inggris di laut Utara, 18 Desember 1951. Dalam membenarkan cara penarikan garis
pangkal ini, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Royal Decrea ini
tidak bertentangan dengan hokum Internasional karena garis pangkal untuk laut
wilayah tidak mutlak menurut low water-mark melainkan cukup mengikuti the
general direction of the cost4.
Keputusan
ini didorong oleh geographical realities, and economic interest
peculiar to a region, the rality and importance of which are clearl evidenced
by long usage. Meskipun keadaan Indonesia berbeda dengan garis-garis yang
menghubungkan titik ujung terpanjang pada kasus pertikaian Norwegia-Inggris
ini, yakni 44 mil, namun keadaan Indonesia sebagai negara kepulauan cukup unik
untuk membenarkan cara penarikan garis pangkal demikian. Yang penting dalam Anglo
Norwegian Fisheries Case ini adalah suatu cara penarikan garis pangkal lain
daripada cara klasik (yakni menurut garis air rendah) telah memperoleh
pengakuan dari Mahkamah Internasional5.
BAGIAN
II
KEADAAN
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
1958-1982
BAB
IV
KONFERENSI
JENEWA 1958 DAN 1960
A. KONFERENSI JENEWA 1958
Upaya-upaya
membakukan lebar laut wilayah yang telah dmulai pada konferensi kodifikasi
hokum laut pertam di Den Haag 1930 terus dilanjutkan. Lebih-lebih dengan lahirnya
negara-negara baru setelah usainya Perang Dunia II kebutuhan akan hokum laut
Internasional yang memenuhi kepentingan (hokum) nasional mereka semakin
memperkuat dorongan untuk membakukan lebar laut wilayah tersebut.
Upaya-upaya
ini dilanjutkan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dan, sebagaimana
telah dikemukanan sebelumnya, pada 1956 Perserikatan Bangsa-Bangsa telah
menyusun final draft yang akan menjadi dasar dalam pembahasan pada
konferensi Jenewa 1958.
Sementara
itu, sebelum diselenggarakannya konferensi ini, banyak negara di dunia yang
sedara sepihak menetapkan lebar laut wilayahnya. Selain Indonesia,
negara-negara lain yang melakukan hal ini antara lain Equador (Law of 21
February 95) yang menetapkan kepulauan Gallapagos memiliki laut wilayah
sendiri, yaitu 2 mil dari sekeliling kepulauan tersebut, dan Kuba dengan
Kepulauan Canariosnya1.
Sesuai
dengan praktik yang telah berlangsung sampai saat itu, negara-negara dapat
memperluas wilayahnya, atau laut wilayahnya dengan:2
a.
Memperlebar laut wilayah lautnya sampai lebar 6, 12, 30, 60 mil dst, diukur
dari garis air rendah;
b.
Di sampai laut wilayah dapat ditetapkan contiguous zone untuk
kepentingan-kepentingan tertentu seperti pencegahan penyelundupan, imigrasi dan
sebagai;
c.
Menetapkan bagian tertentu menjadi perairan pedalaman;
d.
Menentukan bahwa negara bersangkutan berdaulat atas perairan di atas landas
kontinen atau landas kepulauannya (continental shelf atau insular shelf)
dengan batas kedalaman laut 200 mil.
Konferensi
Jenewa 1958 diselenggarakan pada tanggal 24-27 April 1958, diketuai Pangeran
Wan Waltanyakorn dari Thailand, dihadiri 86 negara termasuk Indonesia.3
Dalam konferensi ini dibentuk 4 panitia yang bertugas membahas hal-hal berikut:
1.
Komite I mempelajari soal laut wilayah dan zona tambahan;
2.
Komite I mempelajari rezim laut bebas;
3.
Komite I mempelajari soal perikanan dan pelestarian sumber daya alam;
4.
Komite I mempelajari soal landas kontinen.
Selain itu dibentuk pula sebuah
Panitia Istimewa, yang bertugas membahas akses bebas ke laut bagi negara-negara
yang tidak memiliki laut (the free access to the sea of the landlocked
countries).
Konferensi
ini dimanfaatkan Indonesia sebaik-baiknya untuk memperjuangkan pembakuan lebar
laut wilayah menjadi 12 mil dan memperkenalkan konsep Indonesia mengenai negara
kepulauan sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Juanda 1957. Sesuai dengan ini,
maka pendirian Indonesia pada konferensi tersebut adalah sebagai berikut:4
1.
Secara umum dapat dikata bahwa pendirian Indonesia dalam menghadapi soal lebar
laut wilayah sesuai dengan kedudukannya sebagai negara yang masih lemah dalam
lapangan pelayaran baik niaga maupun perikanan. Kenyataan ini menyebabkan
Indonesia menganggap batas 3 mil tidak memadai dan harus ditinggalkan. Untuk
menggantikannya Indonesia menyadari pentingnya batas yang seragam (uniform
limit), namun, lebih baik jika samapi suatu batas maksimum setiap negara
diperbolehkan menteapkan lebar laut wilayahnya menurut keadaan dan kebutuhan
masing-masing.
Kedudukan Indonesia sebagai negara
maritime lemah dengan garis pantai yang sangat panjang, juga menentukan sikap
delegasinya atas prinsip kebebasan di laut bebas (freedom of the high sas)
tak boleh lagi ditafsirkan secara liberal tetapiharus memperhatikan
sungguh-sungguh kepentingan negara pantai. Pendirian ini ditentukan pula oleh
Deklarasi Pemerintah mengenai perairan Wilayah Indonesia, 13 Desember 1957.
Untuk itu Indonesia harus
memperjuangkan agar konferensi menerima tambahan satu pasal yang mengatur laut
wilayah di sekitar kepulauan sebagai satu kesatuan.
Sebagai konsekuensi dari Deklarasi
Pemerintah RI 13 Desember 1957, harus pula diperjuangkan agar konferensi tidak
menentukan batas maksimum panjangnya straight base line from point to point.
Dan sesuai dengan deklarasi, harus diperjuangkan agar lebar laut wilayah dapat
ditetapkan menjadi 12 mil.
2.
Sesuai pendirian ini maka tugas dan kewajiban delegasi Indonesia, yaitu:
a.
Menjual konsep archipel kepada para peserta konferensi, (I) maksimal konferensi
mengambil keputusan mengenai archipelago principles yang menguntungkan
Indonesia sehingga memperkuat dasar hokum Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember
1957 tersebut, (II) minimal, harus diupayakan adanya pengertian negara-negara
lain mengenai dasar-dasar dari deklarasi ini.
b.
Teks pasal 5 mengenai straight base line from point to point usulan IIC
sedapat mungkin dipertahankan. Yang terpenting agar diupayakan tidak ada
keputusan mengenai batas maksimum garis pangkal lurus ini.
c.
Delegasi Indonesia harus mengusulkan atau mendukung usul yang member kebebasan
setiap negara menetapkan lebar laut wilayahnya sendir sampai batas 12 mil.
d.
Hak lintas damai terutam bagi kapal perang, harus dititikberatkan pada
kepentingan negara-negara pantai
Konferensi
ini gagal menetapkan lebar laut wilayah yang seragam bagi masyarakat
Internasional. Ini, dapat dilihat dari hasil pemungutan suara mengenai hal
tersebut, yaitu:5
·
Usul Kanada, paragraf 1 (6 mil), 11 pro, 48 kontra, 23 abstain, ditolak;
·
Usul Kanada, paragraf 2 (lajur perikanan), 37 pro, 25 kontra, 25 abstain,
diterima;
·
Usul Mexico: 35 pro, 35 kontra, 25 abstain. Berdasarkan pasal pasal 45 Rules of
Procedures, maka usul ini ditolak;
·
Usul USSR – ditolak, dengan hanya 29 pro, 44 dan 9 abstain.
·
Usul Kolombia, ditolak dengan 33 pro, 42 kontra dan 7 abstain;
·
Usul Swedia ditolak (33 suara pro, 42 kontra dan 4 abstain)
·
Usul USA ditolak (38 kontra, 36 pro dan 6 abstain).
Kegagalan
ini, sebagaimana dengan konferensi Den Haag, disebabkan karena
pertentangankepentingan negara-negara peserta. Dalam konferensi ini Amerika
Serikat dengan dukungan negara-negara maritime lainnya menghendaki laut wilayah
yang sesempit mungkin, karena itu mereka menghendaki diterimanya batas 3 mil;
sebaliknya negara-negara sedang berkembang dan negara non maritime lainnya,
menghendaki lebar laut wilayah melebihi 3 mil dan mengusulkan 12 mil.6
Sekalipun mengalami kegagalan, namun Indonesia dapat memperkenalkan
konsep-konsepnya dalam rangka pembelaan terhadap Deklarasi Juanda 1957.
Konferensi,
sekalipun gagal menetapkan pembakuan lebar laut yang berlaku semesta, dapat
menghasilkan 4 konvensi, yaitu:
1.
Konvensi tentang Laut Wilayah dan Jalur Tambahan (Convention on the
Territorial Sea and Contiguous Zones).
2.
Konvensi tentang Laut Beas (convention on the High Seas).
3.
Konvensi tentang Perikanan dan Pelestarian Sumberdaya Hayati Laut (Convention
on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas).
4.
Konvensi tentang landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).
B. KONFERENSI JENEWA 1960
Dua
tahun setelah konferensi Jenewa 1958, diadakan Konferensi Hukum Laut II di
Jenewa, 1960. Focus utama konferensi ini adalah menetapkanlebar laut wilayah
yang seragam bagi semua negara, yang gagal dicapai pada Konferensi Jenewa I
1958. Konverensi ini dihadiri 88 negara termasuk Indonesia.
Dalam
rangka memperjuangkan keberhasilan tuntutannya selaras dengan ketentuan
Deklarasi Juanda 1957, Indonesia mengeluarkan undang-undang yang mengukuhkan
tuntutan ini, yakni Undang-undang No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia, 18
Februari 1960.
Pengundangan
perairan wilayah Indonesia menjelang konferensi Jenewa 1960 ini memperlihatkan
perubahan sikap Indonesia disbanding dengan keadaan dan suasana sekitar 13
Desember 1957. Jika pada akhir 1957 rencana konferensi Jenewa I 1958
menyebabkan penundaan pengundangan konsep nusantara, maka rencan
penyelenggaraan Konferensi Jenewa 1960 justru mendorong Pemerintah mengundang
perairan Indonesia sebelum dilaksanakannya konferensi tersebut.
Penundaan
pengundangan konsepsi nusantara pada 1957 adalah untuk melihat reaksi
masyarakat internasional terhadap pernyataan Indonesia mengenai perairan
wilayahnya sebelum dimasukkan ke dalam system hokum nasionalnya. Sementara
kegagalan konsep negara kepulauan (nusantara) memperoleh pengakuan
Internasional pada tahun 1958 menyadarkan Pemerintah, bahwa ia tidak dapat
menyandarkan jaminan pengakuan hanya melalui suatu konferensi internasiona. Dua
tahun berlalu, tidak menunjukkan perubahan penting dalam sikap masyarakat
internasional terhadap hokum laut. Dan, kenyataan bahwa tahun 1960 akan
diadakan Konferensi Hukum Laut II, semakin mendorong Indonesia mempercepat
diundangkannya UU No. 4/Perpu/1960.7
Dengan
demikian, pengundangan UU No. 4/Perpu/1960 dilandasi pengalaman bahwa
konferensi tersebut tak dapat diharapkan mengambil keputusan yang mwnguntungkan
negara-negara penganut prinsip kepulauan. Ini, karena banyak hal belum jelas
mengenai “kepulauan” tersebut sebagai konsep dalam hokum laut, juga
negara-negara yang berkepentingan langsung dengan rezim kepulauan ini tidak
banyak. Di Asia misalnya, yang dapat ditunjuk sebagai negara kepulauan hanya
Indonesia, Filipina dan Jepang. Yang terakhir ini, sekalipun merupakan negara
kepulauan tetapi tampaknya merasa tak berkepentingan dengan konsep negara
kepulauan. Selain factor luar ini, factor dalam negri juga meningkatkan
keyakinan atas kebenaran konsep nusantara bagi Indonesia terutama dari kalangan
politisi dan angkatan laut; dan bertambahnya keyakinan bahwa penerapan konsepsi
ini dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga, khususnya lintas damai
kapal-kapal asing akan mengurangi tantangan terhadap konsepsi perairan
nusantara.
Berbeda
dengan pertimbangan Deklarasi Juanda 1957 yang dilandasi oleh kepentingan
politik, keamanan dan pertahanan, maka UU No. 4/Prp/1960 lebih menekankan
kepada kepentingan ekonomi dan pengamanan sumber kekayaan alam baik hayati
maupun non hayati. Ini dapat dilihat pada asas-asas pokok yang dapat disarikan
dari Undang-Undang ini, yaitu:8
1.
Untuk menjamin dan mengaskan kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan
ekonomi Indonesia, ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan
titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar;
2.
Jalur laut wilayah selebar 12 mil diukur terhitung dari garis pangkal lurus
ini;
3.
Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis
pangkal lurus ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dengan segala
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
4.
Hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara dijamin
selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan dan
ketertibannya.
Dengan
keluarnya UU No. 4/Prp?1960 ini, maka konsep negara kepulauan sebagai konsep
hokum mencapai bentuk terpentingnya yang member makna atau kerangka hokum dan
wilayah terhadap wawasan filosofis Indonesia yang berdasarkan pada konsep
kesatuan tanah, alor dan penduduknya.9
Perlu
diketahui bahwa dalam Konferensi Hukum Laut II ini diajukan beberapa usul
penting oleh negara-negara peserta, di antaranya:10
a.
Usul Amerika Serikat-Kanada menyarankan 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil exclusive
fishing zones (tanpa ketentuan traditional fishing) dikalahkan
dengan satu suara, yaitu 54 setuju, 28 menentang, dan 1 abstain.
b.
Golongan 12 mil termasuk Indonesia, ditolak dengan 39 setuju, 36 menentang dan
18 abstain;
c.
Golongan yang hanya mengakui 12 mil wilayah perikanan saja dikalahkan dengan 38
setuju, 32 menentang dan 18 abstain.
Dengan
tidak dicapainya kesepakatan para peserta mengenai lebar laut yang seragam,
maka konferensi ini mengalami nasib yang sama dengan KOnferensi Hukum Laut I
1958. Jadi konferensi inipun mengalami kegagalan menetapkan lebar laut yang
baku, yang berlaku bagi semua negara. Akibatnya, maka negara-negara menentukan
sendiri lebar laut wilayahnya.
BAB
V
PEMBAGIAN
KAWASAN LAUT SETELAH TAHUN 1960
Dengan
gagalnya Konferensi Hukum Laut II 1960, maka berlakulah keempat konvensi yang
dihasilkan oleh KOnferensi Hukum Laut I 1958. Selain itu, berlaku pula
ketentuan-ketentuan berikut:1
a.
Konvensi-konvensi internasional yang diprakarsai IMCO, khususnya
konvensi-konvensi mengenai keselamatan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut
karena minyak atau bahan-bahan berbahaya lainnyayang berasal dari kapal.
b.
Konvensi-konvensi internasional lainnya yang mengatur berbagai aspek hokum laut
misalnya Konvensi-konvensi Brussel tentang Hukum Laut, Deklarasi Stockholm
tentang Lingkungan Hidup, Perjanjian Moskow (1963) yang melarang percobaan
senjata nuklir di angkasa luar, di udara dan di bawah permukaan laut,
Perjanjian Pelarangan Penempatan Senjata Nuklir di Bawah Laut (1970 dan
lain-lain.
c.
Berbagai konvensi regional yang menetapkan aturan-aturan spesifik tentang
persoalan-persoalan laut yang berlaku secara regional, misalnya Konvensi
Pencegahan Dumping.
d.
Hukum laut tradisional, berupa kebiasaan-kebiasaan hokum di masa lalu yang
tidak bertentangan dengan konvensi-konvensi modern, serta pendapat para ahli
terkemuka dalam hokum internasional yang masih ada relevansinya dengan situasi
dan keadaan dunia sekarang.
Pembagian
kawasan laut sendiri dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara vertical dan
secara horizontal. Secara horizontal kawasan laut dibagi atas perairan
pedalaman, laut wilayah dan jalur tambahan, dan laut bebas. Secara vertical,
terkait dengan udara di atas air laut (water column), kolom air laut,
dasar laut dan tanah di bawahnya.
A. PENDEKATAN HORIZONTAL
1. Perairan Pedalaman
Perairan
pedalaman adalah perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal atau
perairan yang menuju kea rah darat dari garis pangkal.
Garis
pangkal, adalah garis tempat mulai diukurnya laut wilayah dan jalur tambahan.
Garis pangkal dibedakan atas garis pangkal biasa (normal baseline) dan
garis pangkal lurus (straight baseline). Garis pangkal biasa adalah
garis pangkal yang penentuannya atau penarikannya didasarkan pada air surut (low
watermarks). Adalah garis pangkal lurus, adalah garis tegak lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar dari gugusan kepulauan, mulut
teluk atau sungai atau lekukan-lekukan dalam lainnya, tempat mulai diukurnya
laut wilayah dan jalur-jalur lainnya. Hanya garis pangkal lurus yang
menimbulkan perairan pedalaman.
Berbeda
dengan laut wilayah, dalam perairan pedalaman tidak ada hak lintas damai,
kecuali jika perairan pedalaman itu dimiliki oleh negara kepulauan.2
perairan pedalaman ini meliputi pelabuhan, danau, sungai,3 teluk,
dan laut pedalaman (inland seas), yakni laut yang terkurung oleh garis
pangkal tersebut.4
Pengukuran
garis pangkal teluk, tergantung pada jenis teluk bersangkutan. Terkait dengan
hal ini, ada beberapa macam teluk, yaitu:5
a.
Teluk yang seluruh tepinya berada di bawah kedaulatan satu negara.
Menurut
Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Wilayah, teluk adalah suatu lekukan pantai
yang lebih dari setengah lingkaran garis tengahnya adalah garis lurus yang
ditarik melintasi mulutnya (pasal 7 (2)). Jika lebar mulutnya melebihi 24 mil,
maka dapat ditarik garis pangkal lurus dari garis mulut teluk tersebut, dan
perairan yang terletak di sebelah garis pantai dari garis pangkal lurus adalah
perairan pedalaman, dan laut wilayah dapat ditarik dari garis pangkal lurus
tersebut ke arah laut.
b.
Teluk yang tepi-tepinya dimiliki oleh beberapa negara
Teluk
jenis ini tidak diatur dalam Konvensi Jenewa 1958 tetapi diatur oleh hokum
kebiasaan internasional. Berdasarkan ketentuan hokum kebiasaan ini, garis
pangkal untuk penentuan laut wilayah diteluk tersebut biasanya mengikuti arah
lekukan pantai kecuali ada perjanjian-perjanjian lain di antara negara-negara
pemilik teluk tersebut.
c.
Teluk Sejarah (historical bays)
Dalam
kasus teluk sejarah, ketentuan batas maksimal 24 mil tidak berlaku. Dalam hal
ini beraapun lebar mulut telluk tersebut (kadang-kadang lebih dari 100 mil)
dianggap sebagai milik negara pantai bersangkutan jika menurut sejarah negara
pantai ini telah memperlakukan teluk sebagai miliknya, atau diletakkan di bawah
kedaulatannya dan telah melaksanakan kedaulatannya secar efektif. Di antara
teluk-teluk sejarah yang terkenal adalah: Chesapeake Bay dan Delaware Bay di
Amerika Serikat, Peter the Great Bay (dekat Vladivostok di Rusia, Pohay Bay
(RRC), Spencer Bay, Shark Bay dan Vincent Bay (Australia).
Menurut
Konvensi Jenewa 958 tentang Laut Wilayah dan jalur Tambahan, penarikan garis
pangkal lurus ini harus dilakukan secara wajar, yaitu dalam keadaan dan
cara-cara sebagai berikut:
·
Jika pantai itu merupakan lekukan yang sangat dalam dan memotong (is deeply
indented and cut into) atau jika di sepanjang pantainya terdapat gugusan
pulau-pulau (fring islands along the coast);
·
Penarikan garis pangkal tersebut tidak boleh terlalu menyimpang dari arah umum pantai
(the general direction of the coast) dan bahwa daerah laut yang terletka
di daerah pantai dari garis pangkal tersebut harus cukup berkaitan erat dengan
ranah daratan (must be sufficiently closely linked to the land domein);
·
Elevasi surut (low-tide elevation), yaitu endapan-endapan laut yang
menonjol ke permukaan air laut pada saat air surut tetapi menghilang pada sat
air pasang, kecuali telah dibangunan di atasnya mercusuar atau bangunan yang
selalu berada di permukaan laut;
·
Kepentingan ekonomi khusus di kawasan itu (economic peculiar to the region)
dapat diperhitungkan untuk menarik garis pangkal;
·
Garis pangkal tersebut harus dinyatakan dengan jelas dalam peta dan diumumkan
sewajarnya.
Di
perairan pedalaman negara pantai memiliki kedaulatan mutlak, dan yurisdiksi
untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal asing sekalipun otoritas negara
bendera dapat bertindak jika terjadi kejahatan di atas kapal tersebut.
Terkait
dengan yurisdiksi ini tampak ada tumpang tindih yurisdiksi antara negara pantai
dan negra bendera. Tumpang tindih ini juga dapat dilihat dalam kasus berikut:6
dalam R. V. Anderson, 1868 the
Count Criminal Appeal, menegaskan pembunuhan tidak berencana (manslaughter)di
atas kapal Inggris di perairan Perancis berada di bawah yurisdiksi Inggris
sekalipun (si pembunuh) juga berada di dalam wilayah kedaulatan pengadilan
Perancis (dan pengadilan Amerika berdasarkan pertimbangan kebangsaannya), dan
dengan demikian dapat dihukum menurut hokum Inggris. Mahkamah Agung Amerika
Serikat dalam kasus Wildenhaus menyatakan bahwa pengadilan-pengadilan Amerika
memiliki yurisdiksi untuk mengadili seorang anggota anak buah kapal Belgia
karena membunuh warga negara Belgia lainnya ketika kapal tersebut lepas jangkar
di pelabuhan Jersey City, New York.
Yurisdiksi
ini juga berlaku terhadap kapal dagang asing. Namun, keadanya sama sekali
berbeda dengan kapal perang asing. Dalam hal ini pemberian wewenang dari negara
pantai dan negara bendera diperlukan sebelum negara pantai melaksanakan
yurisdiksinya di atas kapal dan anak buah kapal tersebut.7
2. Laut Wilayah
Laut
wilayah adalah laut yang terletak pada bagian luar garis pangkal. Penetapan
laut wilayah tersebut dilakukan dari garis air rendah sepanjang pantai (normal
baseline) atau dari garis pangkal lurus (straight baseline). Selain itu, dalam
menentukan laut wilayah, berikut ini dapat dijadikan sebagai garis pangkal:8
1.
Bangunan-bangunan tetap pelabuhan terluar (the outermost harbor-works);
2.
Tempat berlabuh di tengah laut (roadstadt) yang biasanya dipakai untuk
bongkar muat atau membuang jangkar oleh kapal dapat dimasukkan dalam laut
wilayah asalkan bata-batasnya ditetapkan dan diumumkan dengan jelas;
3.
Garis air rendah dar elevasi surut (low-tide elevation) jika seluruh
atau sebagian elevasi surut ini terletak dalam jarak yang tidak melebihi laut
wilayah, atau jika seluruhnya terletak di luar laut wilayah tetapi telah
dibangun mercusuar atau bangunan-bangunan tetap lain di atasnya yang selalu
berada di atas permukaan air (pasal 4 (3)).
Dalam
Konvensi Jenewa 1958 tidak ditentukan lebar laut wilayah yang dapat dimiliki
suatu negara. Oleh karena itu, maka seperti keadaan sebelumnya, lebar laut
wilayah ini beragam, yakni 3 mil, 6 mil, 12 mil, dan ada pula yang menetapkan
lebar laut wilayahnya 6 mil ditambah dengan zona perikanan 6 mil. Indonesia
sendiri menetapkan lebar laut wilayahnya 6 mil, dihitung dari titik terluar
pulau terluar. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 4/Prp/1960.
Setiap
negara memiliki kedaulatan penuh atas laut wiayahnya. Kedaulatan penuh ini
meliputi kedaulatan atas ruang udara di atas laut wilayah, air, dasar laut dan
tanah di bawahnya serta kekayaan alam hayati dan non hayati yang ada pada kolom
air lautnya. Akan tetapi, pada laut wilayah ini kapal-kapal asing diberikan hak
melakukan lintas damai (innocent passage) kecuali bagi kapal perang.
Lintas
dianggap damai (innocent) selama tidak bertentangan perdamaian,
ketertiban umum, atau keamanan negara pantai (peace, good order or security
of coastalstates) dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi
Jenewa dan ketentuan-ketentuan hokum internasional lainnya. Untuk dapat
dianggap damai, kapal-kapal asing tersebut harus mematuhi aturan-aturan yang
dibuat negara pantai untuk mencegah mereka menangkap ikan, di laut wilayahnya,
dan kapal selam harus berlayar di permukaan laut serta memperlihatkan
benderanya. Sebaliknya, negara pantai berhak mencegah pelayaran yang tidak
damai, atau menangguhkan sementara waktu lintas damai tersebut atas
bagian-bagian tertentu dari laut wilayahnya karena pertimbangan keamanan
kecuali pelayaran melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.9
Di
Indonesia hak lintas damai ini ditegaskan dalam Deklarasi Juanda dan UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Di dalam Deklarasi Juanda, ditegaskan
bahwa lalu lintas kapal asing melalui perairan Indonesia dijamin selama tidak
merugikan keamanan dan keselamatan bangsa Indonesia. Dalam UU No. 4/Prp/1960
ditegaskan bahwa hak lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara
(archipelago waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara
pantai dan mengganggu keamanan dan ketertibannya.10
Selanjutnya,
sebagai pelaksana dari UU No. 4/Prp/1960 dikeluarkan PP No. 8/1962 tentang Hak
Lintas Damai Kendaraan Air Asing. Pasal 1 dari PP ini menyataan bahwa lintas
damai kendaraan air asing di perairan Indonesia yang sebelum berlakunya UU No.
4/Prp/1960 merupakan laut bebas atau laut wilayah Indonesia dijamin.
Berbeda
dengan perairan pedalaman, di laut wilayah negara pantai tak dapat melaksanakan
yurisdiksi pidana (criminal jurisdiction) atas kejahatan yang di kapal
sewaktu melakukan lintas damai. Namun, jika kejahatan ini dapat mengganggu
perdamaian negara pantai atau ketertiban laut wilayahnya, atau jika pelaksanaan
yurisdiksi ini perlu untuk mencegah lalu lintas perdagangan obat bius. Negara
pantai juga tidak boleh mengalihkan kapal asing yang melewati laut wilayahnya
untuk melakukan yurisdiksi perdata (civil jurisdiction) terhadap orang
di kapal tersebut. Negara pantai juga tak boleh menyita atau menahan kapal
asing yang lewat atau pada waktu berada di perairan negara pantai. Dengan
demikian penahanan sebagai Sandra juga tidak diperbolehkan.11
3. Jalur Tambahan
Menurut
Konvensi Jenewa 1958 negara pantai dapat menetapkan suatu zona yang berdekatan
atau jalur tambahan (contiguous zone), yang jaraknya tidak boleh lebih
dari 12 mil. Jalur tambahan ini pada hakekatnya merupakan laut bebas, karena
itu di sini tidak ada kedaulatan negara pantai. Di sini, negara pantai hanya
dapat melaksanakan yurisdiksi untuk:
a.
Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangannya di bidang pabean,
keuangan, imigrasi, dan kesehatan.
b.
Menghukum pelaku pelanggaran atas peraturan perundang-undangannya yang
dilakukan di wilayah atau laut wilayah di bidang tersebut.
Selain
itu, negara pantaijuga dapat mengambil tindakan-tindakan khusus untuk
melindungi benda-benda arkeologi (archeological treasures)12
yang terpendam di dalam laut.
Untuk
melaksanakan hak-hak ini negara-negara pantai wajib membuat aturan-aturan untuk
mencegah kapal-kapalnya atau kapal-kapal asing mengotori laut baik oleh minyak,
limbah radio aktif, dan bahan-bahan berbahaya lainnya. Bahkan Konvensi Brussel
(1969) member kewenangan kepada negara pantai mengambil tindakan di laut bebas
untuk mencegah dan mengurangi bahaya pengotoran laut yang disebabkan oleh
kecelakaan kapal.16
B. PEMBAGIAN LAUT SECARA VERTIKAL
Secara
vertical laut dibagi atas air laut (water column), permukaan dasar laut
dan tanah di bawahnya. Air laut (water column) telah diuraikan pada waktu
pembicaraan pembagian laut secara horizontal yang meliputi perairan pedalaman,
laut wilayah, jalur tambahan dan laut bebas.
1. Permukaan Dasar Laut dan Tanah di
Bawahnya
Permukaan
dasar laut dan tanah di bawahnya meliputi permukaan dasar laut dan tanah di
bawah perairan pedalaman, laut wilayah, landas kontinen dan dasar laut di luar
landas kontinen.
a.
Dasar-dasar laut dan tanah di bawah perairan pedalaman dan laut wilayah
Secara
geografis permukaan dasar laut dan tanah di bawah perairan pedalaman merupakan
bagian dari landas kontinen, namun, secara yuridis bagian-bagian ini merupakan
landas kontinen. Menurut pasal 2 Konvensi Jenewa tentang laut Wilayah dan Jalur
Tambahan, 1958, rejim dasar laut di bawah perairan pedalaman dan laut wilayah
seluruhnya berada di bawah kedaulatan negara pantai, termasuk daerah-daerahnya
sendiri dan kekayaan alamnya baik yang ada di permukaan dasar lautnya maupun di
dalam tanah di bawah dasar lautnya. Di sini, tidak ada hak negara lain, seperti
untuk memasang kabel atau pipa bawah laut.
b.
Landas kontinen
Persoalan
landas kontinen ini muncul pertama kali pada than 1918, ketika orang Amerika
untuk pertama kalinya berhasil mengeksploitasi minyak kira-kira 40 mil dari
pantai Mexico. Namun, perkembangan hokum yang terpenting terjadi pada tahun
1942 ketika diadakan penandatangan perjanjian antara Inggris dan Venezuela yang
menentukan garis batas laut masing-masing di Teluk Paria untuk memungkinkan
masing-masing pihak melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak di Teluk
tersebut. Dan, pada tahun 1945 Presiden Henry S. Trumen mengeluarkan deklarasi
mengenai landas kontinen Amerika Serikat. Deklarasi ini merupakan deklarasi
sepihak pertama terkait dengan landas kontinen. Di kawasan ini Presiden Truman
menyatakan Amerika Serikat berhak untuk mengambil kekayaan alamnya.17
Pernyataan
Amerika Serikat ini kemudian diikuti oleh Bahama, Jamaika dan Arab Saudi pada
tahun 1948, Sembilan keamiran di Teluk Parsi yang berada di bawah protektorat
Inggris pada tahun 1949, dan Australia, 1953.18 tuntutan landas
kontinen oleh Amerika Serikat (1945), dan Australia (1953) berkaitan dengan
pengelolaan sumber kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawah landas kontinen,
dan tidak mempengaruhi status hokum dari perairan di atas landas kontinen
sebagai laut bebas. Namun, beberapa negara lain seperti Bahama, Arab Saudi dan
Pakistan (1950), (India (1955) menuntut kedaulatan di atas dasar laut dan tanah
di bawah landas kontinen, tetapi tetap mengakui kolom airnya sebagai laut
bebas.19 Bahkan ada negara-negara yang menuntut air di atas landas
kontinen ini sebagai milik mereka. Ini misalnya, dilakukan argenti dalam
Deklarasi 9 Oktober 1946.20
Pada
waktu itu belum dirumuskan secara yuridis apa yang dimaksud dengan landas kontinen
tersebut.21 Rumusan landas kontinen baru kita jumpai dalam konvensi
Jenewa 1958, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1, sebagai berikut:
…...istilah landas kontinen
digunakan untuk menunjuk (a) dasar laut dan tanah di bawah dasar laut kawasan
yang berbatasan dengan pantai tetapi berada di luar kawasan laut wilayah,
sampai kedalaman 200 meter, atau di luar batas tersebut sampai dengan kedalaman
air masih memungkinkan eksploitasi kekayaan alam di kawasan tersebut, (b) dasar
laut dan tanah di bawah kawasan laut yang sejenisnya yang berbatasan dengan
pantai pulau.
Dengan
demikian, maka menurut Konvensi Landas 1958, landas kontinen diartikan sebagai
kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut wilayah
sampai dengan kedalaman 200 meter atau dapat diperluas sampai di luar batas
tersebut asalkan ada kemampuan melakukan eksploitasi di situ.
Ketentuan
terakhir ini menimbulkan masalah, karena dengan perkembangan kemajuan teknologi
yang sangat maju negara-negara dapat melakukan eksplorasi jauh sampai kedalaman
200 meter. Akibatnya, batas yurisdiksi negara di kawasan ini menjadi tidak
jelas.22 Ketidakjelasan disebabkan karena kemampuan negara-negara di
bidang teknologi tidak berbeda-beda. Lagipula batas tersebut akan selalu
berubah-berubah menurut perkembangan teknologi negara-negara pantai
bersangkutan.23
Selanjutnya,
dalam pasal 2 ditentukan bahwa: (1) di landas kontinennya negra-negara pantai
berhak melakukan eksploitasi dan eksplorasi, (2) dan tak satu negara lain pun
dapat melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut jika negara
bersangkutan tidak mampu melaksanakan kegiatan tersebut. jadi, hak eksploitasi
dan eksplorasi itu benar-benar bersifat ekslusif. Hak melakukan eksploitasi dan
eksplorasi itu tidak tergantung pada pendudukan efektif (effective
occupation) maupun kehendak (notional) atau pernyataan tegas.
Sumber-sumber kekayaan alam yang dapat eksploitasi dan eksplorasi di kawasan
ini meliputi sumber-sumber mineral dan non hayati lainnya di dasar laut dan
tanah di bawahnya, organism hidup yang termasuk ke dalam spesies sedenter,
yaitu organism yang tidak bias pindah ke atas atau ke bawah dasar laut kecuali
dngan hubungan fisik yang tetap dengan dasar laut dan tanah di bawahnya.
Hak-hak
negara pantai di landas kontinen tersebut tidak mempengaruhi status perairan di
atasnya sebagai laut bebas, atau status hokum ruang udara di atas perairan
tersebut.
Konvensi
Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia.
Namun, ratifikasi ini ditolak oleh Sekjen PBB dengan alas an yang sama dengan
ratifikasi Konvensi Perikanan, yakni karena Indonesia meletakkan reservasi
pada pasal-pasal yang tidak boleh direservasi, menurut Konvensi
tersebut. larangan ini tercantum dalam pasal 1, 2, dan 3. Dengan demikian,
sekalipun menurut Hukum Internasional, Indonesia tidak terikat pada Konvensi
tersebut, tetapi secara praktis di dalam negri, Indonesia telah menyetujuinya
dengan pengertian bahwa konsepsi landas kontinen hanya berlaku bagi
daerah-daerah dasar laut di sekitar Indonesia yang terletak di luar perairan
nusantara dan laut wilayah Indonesia.
Sejalan
dengan itu, maka pada tanggal 17 Februari1969 Indonesia mengeluarkan pengumuman
Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen yang kemudian
ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu Undang-undang No. 1/19773 tentang
Landas Kontinen Indonesia.
Dengan
pengundangan tersebut maka kesatuan wilayah Republik Indonesia semakin
ditegaskan lagi kebulatan dan keutuhannya sehingga kemudian lingkup
peraturannya pun meliputi dasar laut di bawahnya.25
c.
Daerah dasar laut di luar Landas Kontinen
Pada
mulanya dasar laut di luar landas kontinen dianggap sebagai bagian dari laut
bebas. Namun, dalam perkembangan selanjutnya bagian ini dipandang sebagai common
heritage of mankind (warisan bersama umat manusia). Sebagai warisan
bersama umat manusia, maka bagian dasar laut ini tidak bias dimiliki maupun
diletakkan di bawah yurisdiksi suatu negara, tetapi harus dimanfaatkan untuk
kepentingan semua umat manusia.
Konsep
common heritage of mankind ini pertama kali disampaikan oleh Prof. Arvid
Pardo, Duta Besar Malta di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyatakan bahwa
perkembangan hokum mengenai samudera di masa yang akan datang tidak membiarkan
konsep tradisonal mengenai tuntutan yang saling bersaingtentang kedaulatan
negara-negara pantai terhadap laut bebas yang mereka dasarkan pada konsep lama
dan mencerminkan keadaan teknologi pada akhir abad pertengahan. Ia mendesak
penerimaan konsep baru yang menjadi dasar bagi rejim baru untuk samudera. Konsep
baru ini tidak lagi didasarkan pada pembagian pokok samudera atas laut yang
berada di bawah kedaulatan nasional, dan laut bebas yang bebas dari tuntutan
yurisdiksi negara pantai tetapi mempertimbangkan tatanan hokum baru bagi
samudera yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Konsep ini, kemudian pada
tanggal 17 Desember 1970 diterima dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa Nommor 2749 (XXV) dengan judul Declaration of Principles
Governing the seabed and Ocean Floor, and the Subsoil thereof, Beyon the Limits
of national Jurisdictions. Resolusi yang diterima oleh 108 suara setuju dan
14 suara absen ini menyatakan dengan hidmat:
Dasar laut dan dasar samudera, serta
tanah di bawahnya, yang berada di luar yurisdiksi nasional (selanjutnya disebut
kawasan), maupun sumber daya kawasan tersebut merupakan common heritage of
mankind. Dengan demikian, maka suatu kawasan baru dalam sejarah hokum laut
telah lahir.26
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, konsep baru ini memiliki 5 implikasi pokok, yaitu:27
Pertama,
warisan bersama umat manusia tidak dapat dimiliki. Warisan ini dapat digunakan
tetapi tidak bias dimiliki (konsep pemilikan fungsional). Kedua, penggunaan
warisan bersama itu memerlukan suatu system pengelolaan yang di dalamnya semua
pemakai harus berbagi. Ketiga, konsep ini mencerminkan suatu pembagian
keuntungan aktif, tidak hanya mencakup keuntungan keuangan (financial) tetapi
juga keuntungan yang diperoleh dari pembagian pengelolaan dan alih teknologi.
Dua implikasi terakhir ini, pembagian pengelolaan dan pembagian keuntungan,
mengibah hubungan structural antara negara-negara kaya dan miskin dan konsep
bantuan pembangunan tradisional. Keempat konsep warisan bersama menyiratkan
persyaratan untuk tujuan damai (implikasi perlucutan senjata). Dan kelima,
konsep ini menyiratkan reservasi bagi generasi yang akan datang (implikasi
lingkungan) (the New International Economic Order and the Law of the Sea,
International Ocean Institute Occasional Paper No. 4, p. 10).
2. Bagian Air Laut (Water Colum)
Bagian
air laut (water column) telah dibahas sewaktu membicarakan pembagian
laut secara horizontal, yaitu perairan pedalaman, jalur tambahan dan laut
bebas.
Sementara
itu terkait dengan bagian air laut telah berkembang suatu konsep hokum yang
dikenal dengan zona ekonomi eksklusif. Konsep ini timbul karena adanya tuntutan
atas penguasaan sumber kekayaan yang terdapat di dalam zona ekonomi eksklusif
tersebut.
Konsep
zona ekonomi eksklusif ini berasal dari tuntutan negara-negara Amerika Latin
untuk melakukan eksploitasi, eksplorasi dan pengelolaan sumber daya alam tidak
hanya pada kawasan yang dikenal sebagai landas kontinen tetapi juga pada bagian
perairan di atas landas kontinen tersebut.
Tiga
negara Amerika Latin, yaitu Chile, Equador dan Peru dapat dipandang sebagai
negara-negara yang merintis lahirnya rezim hokum zona ekonomi eksklusif
tersebut. Negara-negara ini menuntut eksploitasi dan eksplorasi sumber daya
laut di Samudera Pasifik (1952) sampai 200 mil arti dari garis pangkal. Ketiga
negara tersebut dalam deklarasinya pada tahun 1952, Santiago Declartaion,
menyatakan sebagai berikut:28
Adalah kewajiban masing-masing
pemerintah untuk mencegah sumber daya alam tersebut digunakan di luar
yurisdiksinya, sehingga mengancam keberadaan, keutuhan dan kelestariannya yang
merugikan bangsa-bangsa yang secara geografis berada di situ, karena laut
mereka mengandung sumber-sumber makanan dan bahan-bahan ekonomi penting yang
tak dapat digantikan (pasal 1).
Selanjutnya,
dalam pasal 2 ditgaskan bahwa Pemerintah Chile, Equador dan Peru menyatakan
sebagai prinsip kebijakan kelautan internasional mereka bahwa masing-masing
memiliki yurisdiksi atas kawasan laut yang berbatasan dengan pantai mereka
sampai tidak kurang dari 200 mil dari pantai mereka.
Namun
sebagai istilah dalam perundang-undang, zona ekonomi eksklusif digunakan
pertama kali oleh Madagaskar pada tahun 1973, namun, istilah ini mengacu kepada
landas kontinen. Selanjutnya, Bangladesh pada tahun 1974 menuntut zona ekonomi
eksklusif dalam pengertian yang hampir sama dengan istilah yang digunakan
sekarang ini. Kostarika mengubah konstitusinya dengan menegaskan zone ekonomi
eksklusifnya sampai 200 mil (1975). Tuntutan-tuntutan berikutnya dilakukan oleh
berbagai negar, antara lain: Qatar (12 Juni, 1974), Kepulauan Komoro (15 Juni
1976), Guatemala (1 Juli 1976), Mexico (31 Juli 1876), Mozambique (19
Agustus 1976), Maladewa (5 Desember 1976), Pakistan (31 Desember 1876),
Norwegia (1 Januari 1977), India (15 Januari 1977), Srilangka (13 Januari
1977), Perancis (11 Februari 1977), Guyana Perancis (22 Februari 1977), St.
Pierre&Miquelon (Perancis) (25 Februari 1977) dan masih banyak lagi negara
lainnya, shingga jumlahnya lebih dari 70 negara.29
Di
Asia Tenggara, yang pertama kali mengajukan tuntutan atas zona ekonomi
eksklusif adalah Burma (sekarang Myanmar, 9 April 1977), selanjutnya diikuti
Vietnam (12 Mei 1977), Republik Demokratik Kampuchea (15 Januari 1978),
Filipina (11 Juni, 1988), Indonesia (21 Maret 1988), Malaysia (21 April 1993).30
3. Ruang udara di atas laut
Sebelum
menguraikan ruang udara di atas laut lebih lanjut terlebih dahulu perlu
dijelaskan perbedaan antara ruang udara dengan ruang angkasa. Menurut hokum
internasional hanya ruang udara yang dapat ditempatkan di bawah kedaulatan
suatu negara.
Persoalannya
sampai ketinggian berapa ruang udara dapat dijadikan wilayah suatu negara. Atas
hal ini, terdapat beberapa usul mengenai ketinggian ruang udara dapat dijadikan
wilayah suatu negara. Usul-usul tersebut adalah, sampai ketinggian 60 km (teori
aeroneutica), 85-100 km ( garis von Karman), 160 km batas terendah penempatan
satelit, 100-110 km (saran USSR), atau sampai ketinggian yang mampu dikontrol
secara efektif oleh suatu negara di atas wilayahnya, baik secara fisik maupun
secara ilmiah. 31
Sebagaimana
ruang udara di atas wilayah darat suatu negara, ruang udara di atas perairan
pedalaman berada di bawah kedaulatan mutlak negara bersangkutan. Dengan kata
lain ruang udara di atas wilayah darat, perairan pedalaman dan laut wilayah
berada di bawah kedaulatan negara terkait. Oleh karena itu, suatu negara
berdaulat di atas ruang-ruang udara ini.
Menurut
Konvensi Chicago 1944, setiap negara memiliki kedaulatan efektif atas ruang
udaranya (Pasal 2). Namun, Konvensi ini juga mengusulkan 5 kebebasan udara
yaitu kebebasan terbang melalui wilayah asing tanpa mendarat, mendarat dengan
tujuan perdagangan; menurunkan penumpang dan pesawat pada lalu lintas negara
asing yang bertujuan ke negara asal pesawat.
BAB
VI
KONVENSI
HKUM LAUT III 1974-1982
Sekalipun
Konferensi 1958 telah berhasil menelurkan 4 Konvensi, namun konvensi-konvensi
ini segera dirasakan telah using. Selain belum tuntasnya pembakuan lebar laut
wilayah dan konsep negara kepulauan sebagaimana dituntut oleh Indonesia dan
Filipina, juga telah muncul berbagai rejim hokum baru di bidang hokum laut.
Oleh karena itu pembaharuan di bidang ini sangat dirasakan perlunya oleh
masyarakat internasional.
Pembaharuan
ini semakin dirasa penting dengan semakin banyaknya lahir negara-negara
baru setelah Konferensi Hukum Laut 1960, terutama di Benua Afrika.
Negara-negara yang baru merdeka ini jumlahnya hamper dua kali lipat dari
keadaan 1958 (Konferensi Jenewa 1958 dihadiri 86 negara, Konferensi Jenewa 1960
dihadiri 88 negara, dan dalam tahun 1970 terdapat sekitar 140 negara). Negara-negara
ini, karena tidak mengikuti konferensi-konferensi tersebut merasa kepentingan
mereka belum cukup terlindungi. Negara-negara baru merdeka ini merasa bahwa
Hokum Laut 1958 lebih banyak mengkodifikasi hokum laut internasional yang lebih
banyak bersumber pada kebiasaan-kebiasaan hokum negara-negara maritime yang
telah maju dibandingkan dengan kebiasaan-kebiasaan hokum dan kepentingan
negara-negara berkembang. Selain itu, kenyataannya, Konvesi Jenewa 1958 tetapi
didasarkan pada kebebasan lautan seperti pada masa lalu yang lebih mnguntungkan
negara-negara yang dapat menggunakan lautan secara optimal, yaitu negara-negara
maju tersebut. keadaan ini mendorong negara-negara berkembang meuntut agar
negara-negara pantai memperoleh kewenangan seluas dan sebanyak mungkin ke laut
demi mengamankan sumber-sumber kekayaan alam di sepanjang pantai mereka untuk
kepentingan rakyat mereka, memelihara lingkungan laut gunamenjaga ekologi di
daerah pantainya dan memelihara keamanan dan keselamatan pantai dan negaranya.1
Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, ada 3 faktor penting yang mendorong diadakannya
Konferensi Hukum Laut ketiga, yaitu:2
a.
Banyaknya negara berkembang yang baru yang sebagian berasal dari kawasan
Afrika, Karibia dan Asia Pasifik. Mereka tidak banyak memperkuat kamp
negara-negara yang ingin memperbarui hokum samudera yang ada yang sebagian
besar masih didasarkan pada konsep tradisonal. Mereka ini bahkan berjalan lebih
jauh, dan tidak mau menerima hasil Konvensi Jenewa 1958 karena merasa tidak
memiliki kepentingan karena ketidakhadiran mereka di dalamnya. Mereka tidak
hanya menginginkan hokum laut yang modern tetapi (juga) suatu hokum
internasional baru mengenai laut yang mencerminkan tatanan hokum internasional
baru tentang lautan.
b.
Pertumbuhan ketergantungan umat manusia pada laut sebagai sumber kemakmuran,
sumber-sumber kekayaan hayati laut berupa mineral termasuk hydrocarbon menjadi
semakin bertambah penting sebagaimana sumber daya alam darat yang teru menerus
dihabiskan karena semakin bertambahnya penduduk. Kenyataan bahwa kemampuan
melakukan eksploitasi atas kekayaan alam tersebut sangat tergantung pada
teknologi dan modal yang berada dalam kepemilikan atau penguasaan negara
industry maju menambah kepedulian sebagian negara berkembang baru yang
kepentingan mereka hanya dapat dijamin dengan mengadakan suatu tatanan hokum
baru terhadap samudera yang lebih adil. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya
konsep common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia).
c.
Hasrat negara-negara maritime atas jaminan kepentingan mereka atas pelayanan
dan akses yang bebas terhadap sumber daya alam dari gangguan-gangguan karena
tuntutan yang semakin meningkat oleh negara-negara berkembang terhadap laut
yang berdekatan dengan dasar laut.
Selain
itu telah muncul pula masalah-masalah hokum baru selain dari zona ekonomi
eksklusif yang disebutkan di atas yang memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Masalah-masalah itu adalah:3
·
Masalah passage
Belum
terpecahkannya masalah lebar laut wilayah selama ini menimbulkan masalah bagi
negara-negara maritime. Ini karena negara-negara berkembang dan bahkan
negara-negara maju sendiri sudah banyak meninggalkan konsep 3 mil.
Negara-negara di hard yang membela prinsip kebebasan lautan untuk
keperluan armada militer mereka menerima lebar laut wilayah 12 mil dengan
penerimaan rejim pelayaran bebas melalui selat-selat yang dipakai untuk
pelayaran internsional.
·
Masalah kekayaan alam di dasar laut
Semakin
pesatnya perkembangan di bidang teknologi memungkin dilakukannya eksplorasi dan
eksploitasi kekayaan alam di dasar laut yang jauh dari pantai. Akibatnya,
timbul persoalan mengenai negara mana yang berhak mengelola kekayaan alam
tersebut mengingat ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas
Kontinen yang sangat tidak jelas mengenai hal ini. Karena ini perlu dilakukan
peninjauan kembali terhadap ketentuan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas
Kontinen tersebut, dan perlu pula dikembangkan suatu system hokum baru yang
mengatur eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dan tanah di
bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional
·
Masalah perlindungan lingkungan laut
Sebagaimana
diuraikan di atas, laut mengandung berbagai macam kekayaan yang sangat penting
bagi kehidupan manusia. Di samping mengandung bahan-bahan mineral, sumber
kekayaan hayati seperti segala jenis ikan dan mamalia serta biota laut lainnya,
laut juga merupakan salah satu sumber potensi penyediaan air tawar. Terjadinya
pencemaran laut tentu akan mengganggu kehidupan biota laut yang sangat penting
bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, perlindungan lingkungan laut sangat
penting untuk dilakuakn oleh masyarakat internsional. Persoalan perlindungan
lingkungan laut kian terasa penting terutama dengan dibuatnya kapal-kapal yang
digerakkan oleh tenaga nuklir.
Persiapan dan Pelaksanaan konferensi
Hukum laut III4
Persiapan
untuk melaksanakan Konferensi Hukum Laut III diserahkan kepada UN Seabed
Committee berdasarkan Resolusi Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa 2750 (XXV)
yang menetapkan bahwa Konferensi Hukum Laut PBB ketiga akan dilaksanakan pada
tahun 1973. Komite ini semula bernama the the Committee of Peaceful Uses of
the Seabed and Ocean Floor beyond the Limits of National Jurisdiction yang
lahir atas inisiatif Maltam pada tahun 1967. Di samping ditetapkan sebagai
Panitia Persiapan (Prepatory Committee) berdasarkan resolusi 275
tersebut, jumlah anggota Panitia ini ditambah menjadi 44 orang, didalamnya
termasuk Indonesia.
Konferensi
Hukum Laut tersebut ditugasi untuk membahas: (1) pengaturan hokum (rejim) yang
mengatur kawasan dan sumber daya alam dasar laut dan dasar samudera dan tanah
di bawahnya yang berada di luar yurisdiksi nasional; (2) ketentuan-ketentuan
mengenai laut bebas; (3) landas kontinen; (4) laut wilayah, termasuk lebar laut
wilayah dan selat internasional; (5) perikanan dan perlindungan kekayaan hayati
di laut bebas; (6) perlindungan kelestarian lingkungan laut, termasuk
pencegahan pencemaran; dan (7) penelitian ilmiah.
Pada
sidang pertama UN Seabed Committee (1971) dibentuk 3 sub komite, yaitu:
1.
Sub Komite I menangani masallah penetapan Internasional Seabed Area dan
pengaturan pengelolaan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya.
2.
Sub Komite II menangani masalah hokum laut yang diatur dalam konvensi Hukum
Laut Jenewa 1958 seperti laut wilayah dan jalur tambahan, laut bebas,
lingkungan di laut bebas dan landas kontinen termasuk persoalan serta
perkembangan yang dialami dalam tahun-tahun terakhir ini
3.
Sub Komite III menangani masalah Perlindungan Lingkungan Laut dan Penelitian di
Laut.
Delegasi Indonesia yang telah
mengikuti sidang Seabed Committee sejak 1970 memusatkan perhatian pada soal
pengembangan lanjut dan konsep commo heritage of mankind dan
masalah-masalah laut wilayah dan selat. Ini karena masalah ini yang pertama
mendapat perhatian umum peserta konferensi sebagai cerminan aspirasi negara-negara
berkembang. Sedangkan soal kepulauan yang akan dibicarakan dalam kaitannya
dengan laut wilayah dan selat internasional merupakan dua hal yang terkait
langsung dengan kepentingan Indonesia.
Sementara
itu konsepsi kepulauan mendapat dukungan dari negara-negara kepulauan lainnya,
yaitu Fiji (1971) dan Mauritius (1972). Dengan demikian, maka terdapat 4 negara
pendukung konsepsi kepulauan, semuanya merupakan anggota Panitia Persiapan.
Keempat negara ini dalam sidang musim semi Panitia Persiapan (1972) mengajukan
usulan yang berisi pokok-pokok engenai kepulauan yang dimuat dalam Dokumen
A/AC.1.38/SC.II/L.15.
Ada
3 hal pokok yang termuat dalam usul keempat negara kepulauan tersebut yaitu:
1.
Definisi negara kepulauan. Dalam definisi ini sekalipun pengertian negara
kepulauan didasarkan pada pengertian geografi, pada hakikatnya pengertian
negara kepulauan adalah pengertian politik.
2.
Pernyataan asas-asas yang menegaskan bahwa negara kepulauan berdaulat atas
perairan yang terdapat di dalam garis pangkal lurus yang ditarik di antara
pulau-pulau terluar. Kedaulatan ini tidak saja meliputi perairan tetapi juga
mencakup dasar laut (seabed) dan tanah di bawahnya (subsoil)
serta ruang udara di atas kepulauan tersebut.
3.
Hak lintas damai melalui perairan kepulauan akan diperkenankan asalkan sesuai
dengan perundang-undangan nasional yang akan memperhatikan ketentuan-ketentuan
hokum Internasional. Apabila perlu, lintas damai tersebut akan dilakukan
melalui alur-alur lintas (seafanes) yang dibuat untuk keperluan itu oleh
negara kepulauan.
Dalam
sidang musim gugur, 1973 keempat neara pendukung konsep kepulauan tersebut
mengajukan usul yang lebih rinci dalam bentuk rancangan pasal-pasal mengenai
negara kepulauan. Rancangan ini terdiri dari 5 pasal. Ketentuan paling rinci
mengenai kepulauan terdapat dalam Pasal 5. Pasal ini terdiri dari 10 ayat,
mengatur hal-hal berikut: (1) hak negara panati untuk menerapkan alur-alur
pelayaran bagi lalu lintas kapal asing (ayat1-3); (2) penetapan pola pengaturan
lalu lintas kapal (traffic separationscheme)dan syarat-syaratnya (ayat
4); (3) wewenang negara pantai untuk menetapakan peraturan-peraturan untuk
mengatur lalu lintas kapal asing melalui perairan negara kepulauan dengan
tujuan mencegah gangguan terhadap keamanan negara pantai atau kerugian terhadap
negara pantai dan perairannya dan pemeliharaan perdamaian dan ketertiban di
perairan negara kepulauan (ayat 5); dan (4) ayat-ayat berikutnya mengatur
kewajiban kapal asing untuk menaati peraturan yang dibuat oleh negara kepulauan
termasuk kapal asing, weewenang negara kepulauan untuk melarang sementara waktu
lintas damai kapal asing melalui perkaitannya dalam hal-hal tertentu, dan
kewajiban negara kepulauan untuk secara tegas memutuskan batas-batas alur
pelayaran dan mengumumkannya.
Sesuai
rencana, pada akhir Desember 1973 diadakanlah sidang pertama Konferensi Hukum
Laut Ketiga di New York. Dalam sidang ini dibahas masalah-masalah yang
berkaitan dengan persoalan procedural dan tata tertib konferensi. Tata tertib
tersebut didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dalam konferensi-konferensi PBB,
misalnya pengorganisasian sidang-sidang konferensi dalam sidang-sidang pleno
dan sidang-sidang Komite; cara pemungutan suaraa, yaitu mayoritas sederhana
untuk keputusan-keputusan dalam Komite dan mayoritas 2/3 untuk
keputusan-keputusan dalam pleno. Selain itu dimuat pula cara mengajukan
perubahan (amandement) dan usulan (proposal).
Sidang
kedua diadakan di Caracas, Venezuala, 20 Juni-29 Agustus 1974. Dalam sidang ini
negara-negara kepulauan mengajukan secara resmi rancangan pasal-pasal tetang
negara kepulauan seperti yang telah diajukan sebelumnya dalam sidang-sidang
persiapan.
Sementara
itu, terdapat suatu perkembangan mengenai konsepsi negara kepulauan. Konsepsi
hokum negara kepulauan ini diajukan oleh India disokong oleh Equador dan
Kanada. Konsepsi ini menghendaki diterapkannya asas-asas negara kepulauan yang
dimiliki oleh suatu negara yang wilayahnya sebagian besar merupakan kontinen.
Konsep ini diajukan karena India memiliki Kepulauan Andaman dan Nicobar, dan
Kanada memiliki kepulauan di daerah Kutub Utara yang berdekatan dengan
pantainya, dan Equador memiliki Kepulauan Galapagos di depan pantainya di
Amerika Selatan.
Sepintas
Konsep hokum kepulauan yang diajukan India tidak berbeda dengan yang diajukan
Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritius. Namun, terdapat perbedaan dalam satu
hal yaitu konsep hokum kepulauan yang diajukan oleh Indonesia, Filipina,
Fiji, dan Mauritius yaitu konsep hokum tentang negara yang secara
keseluruhannya terdiri dari kepulauan tanpa ada wilayah-wilayah yang bukan
pulau. Sedangkan konsep kepulauan yang diajukan India, kepulauan tersebut
merupakan wilayah yang sebagian besar merupakan bagian dari benua.
Perkembangan
lainnya adalah munculnya Bahama di kawasan Karibia yang ingin menerapkan konsep
negara kepulauan, dan keinginan di berbagai kawasan di Samudera Pasifik baik
yang sudah merdeka maupun yang belum untuk menerapkan konsepsi kepulauan
tersebut pada kelompok pulau-pulau di Samudera Pasifik.
Untuk
menghindari penolakan konsep kepulauan ini, Indonesia bersama tiga negara
lainnya berusaha melakukan konsultasi dan loby dengan negara-negara lainnya
yang mengajukan konsepsi kepulauan yang hamper sama itu, agar keutuhan konsepsi
negara kepulauan tetap terpelihara.
Selain
konsepsi negara kepulauan, juga muncul usulan dari negara-negara pantai. Yang
terpenting adalah usulan mengenai zona ekonomi eksklusif (200 mil) dan landas
kontinen.
Sebagai
hasil dari sidang Caracas ini, berbagai usul tersebut dihimpun dan dirumuskan
oleh pimpinan konferensi menjadi apa yang disebut main trend of law of the
sea. Salah satu yang dimuat dalam main trend ini adalah konsep negar
kepulauan yang berasal dari Indonesia bersama kelompoknya dan kelompok negara
pengusul lainnya.
Dalam
sidang ketiga yang diadakan di Jenewa pada tahun 1975 diselenggarakan
konsultasi efektif antar kelompok. Yang menjadi dasar dalam
konsultasi-konsultasi ini adalah main trend yang telah dirumuskan dalam
sidang kedua tersebut. karena sampai saat-saat terakhir sidang Jenewa tidak
berhasi lmenyusun rancangan pasal-pasal berupa naskah konvensi (draft
convention), akhirnya Pimpinan Konferensi mengambil alih dan memerintahkan
Ketua dari masing-masing Komite merumuskan rancangan pasal-pasal itu dalam
waktu beberapa hari. Tugas ini dapt diselesaikan dan sidang ketiga dapat
diakhiri dengan apa yang disebut Informal Single Negotiating Text (ISNT)
sebagai hasil laporan dari konferensi.
Selanjutnya,
dalam sidang keempat, di New York 1976 dilakukan revisi ISNT. Dalam Revise
Informal Single Nogotiating Text tersebut juga tercantum pasal-pasal
mengenai negara kepulauan.
Dan
akhirnya, dalam sidang ke 10 yang dilangsungkan di Markas Besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa, New York naskah akhir dari Konferensi Hukum Laut tersebut
disetujui pada tanggal 30 April 1982 dengan perbandingan suara 130 setuju, 4
menentang dan 17 abstain.5
BAGIAN
III
KONVENSI
PERSERIKATAN-BANGSA-BANGSA
TENTANG
HUKUM LAUT (III) 1982
BAB
VII
BERLAKUNYA
KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Konvensi
Hukum Laut III 1982 (KHL III 1982) dibuka bagi penandatanganan pada 10 Desember
1982 di Montego Bay Jamaica. Pada pembukaan penandatanganan ini, KHL III 1982
ditandatangani 117 negara dan dua badan lain (bukan negara).1
Konvensi akan berlaku 12 bulan setelah penyimpanan instrument ratifikasi atau
aksesi yang ke-60 pada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pasal 308
(1) UNCLOS).
KHL
III 1982 ini merupakan a moment of modern international law-making history
in the true sense of the world.2 Sebagai monument hukkum
internasional modern, KHL III 1982 tersebut sangat penting artinya bagi
masyarakat Internasional terkait dengan pengaturan laut. Persoalan-persoalan
yang tidak terpecahkan dalam konferensi-konferensi hokum laut sebelumnya, sejak
1930 seperti persoalan pembakuan lebar laut wilayah telah dipecahkan oleh
konvensi ini. Konvensi ini juga member keseimbangan kepentingan antara
kepentingan negara-negara pantai dan kepentingan negara-negara maju. Rejim
negara kepulauan, laut wilayah, jalur tambahan, landas kontinen, zona ekonomi
eksklusif memberikan jaminan terhadap kepentingan negara-negara pantai.
Sebaliknya, lintas damai, lintas transit melalui selat yang dipergunakan bagi
pelayanan internasional, rejim lintas alur kepulauan dan rute penerbangan di
atas alur kepulauan serta kebebasan pelayaran, penerbangan dan pemasangan kabel
bawah laut di atas zona eksklusif memberikan jaminan atas kepentingan
negara-negara maritime yang umumnya merupakan negara-negara maju.
Secara
garis besar Konvensi memuat beberapa hal penting, yaitu:3
·
Negara-negara pantai memiliki kedaulatan teritorial sampai 12 mil, tetapi
kapal-kapal asing diizinkan melakukan lintas damai melalui perairan tersebut;
·
Kapal dan pesawat udara dari semua negara diizinkan melakukan lintas transit
melalui selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, negara-negara
yang terletak di sepanjang selat bias mengatur navigasi dan segi-segi lintas
lainnya;
·
Negara-negara kepulauan adalah negara yang terdiri dari satu kelompok atau
kelompok-kelompok pulau yang saling berhubungan memiliki kedaulatan atas laut
wilayah yang tertutup oleh garis selat dari kepulauan tersebut; negara lain
berhak melakukan lintas di garis yang ditetapkan.
·
Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas zona ekonomi eksklusif (ZEE)
200 mil laut dalam hubungannya dengan sumber-sumber alam dan kegiatan-kegiatan
ekonomi tertentu, dan juga memiliki yurisdiksi atas riset ilmiah kepulauan dan
perlindungan lingkungan. Negara-negara lain memiliki kebebasan penerbangan di
atas kawasan tersebut serta kebebasan meletakkan kabel bawah laut dan jaringan
pipa. Negara-negara yang hanya dikelilingi daratan dan letak geografisnya tidak
menguntungkan memiliki kesempatan turut mengeksploitasi bagian penangkapan ikan
berdasarkan prinsip sederajat bila negara pantai tidak dapat melakukannya
sendiri. Spesie ikan yang tingkat perpindahannya tinggi dan binatang-binatang
laut menyusui akan dilindungi secara khusus.
·
Negara-negara pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi dan eksplorasi
landas kontinen. Landas kontinen ini sekurangnya 200 mil dari garis pangkal,
dan dalam keadaan tertentu dapat lebih jauh. Negara-negara pantai berbagi
dengan masyarakat internasional dari bagian yang mereka peroleh dari
pengelolaan sumber kekayaan alam yang berasal dari dasar laut dalam yang berada
di luar batas 200 mil. Komisi mengenai batas-batas Landas Kontinen akan
memberikan rekomendasi kepada negara-negara mengenai batas di luar zona ekonomi
eksklusif (ZEE).
·
Semua negara menikmati kebebasan pelayaran tradisional, lintas penerbangan,
penelitian ilmiah dan penagkapan ikan di laut bebas, dan wajib bekerjasama
dengan negara-negara lain untuk mengelola dan melestarikan sumber-sumber hayati.
·
Laut wilayah, ZEE dan landas kontinen dari kepulauan akan ditentukan sesuai
dengan ketentuan yang bias diterapkan atas wilayah daratan, tetapi karang tak
dapat menampung habitat manusia atau kehidupan ekonomi mereka sendiri, tidak
memiliki ZEE dan landaus kontinen;
·
Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup
diharapkan bekerjasama dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati dan dalam
kebijakan dan kegiatan lingkungan dan penelitian;
·
Negara-negara yang dikelilingi hanya oleh daratan memiliki hak akses ked an
dari laut, dan bebas melakukan transit melalui negara-negara transit;
·
Semua kegiatan eksploitasi dan eksplorasi di wilayah dasar laut internasional
berada di bawah kekuasaan Otorita Dasar Laut Internasional (International
Seabed Authority) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini.
Otorita ini akan diberi wewenang untuk melaksanakan operasi pengembangaannya
sendiri melalui badan operasionya, Enterprise, dan juga melaksanakan kontrak
dengan perusahaan-perusahaan swasta dan negara-negara untuk memberikan kepada
mereka hak penambangan di wilayah tersebut sehingga mereka dapat beroperasi
sejalan dengan Otorita tersebut. generasi penambang dasar laut pertama, pioneer
investor, akan memiliki jaminan produksi jika wewenang itu sudah diberikan.
·
Negara-negara terikat untuk mencegah dan mengendallikan pencemaran laut dan
dapat dituntut atas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran
kewajiban-kewajiban mereka untuk memerangi pencemaran seperti itu.
·
Semua penelitian ilmiah ZEE dan landas kontinen harus disetujui oleh
negara-negara pantai, tetapi dalam banyak hal kegiatan seperti itu akan
memperoleh persetujuan jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan damai dan
memenuhi criteria tertentu;
·
Negara-negara terikat untuk menggalakkan pembangunan dan alih teknologi laut
“berdasarkan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang adil dan masuk akal”
dengan memperhatikan secara seksama semua kepentingan yang sah;
·
Negara-negara berkewajiban menyelesaikan sengketa mereka secara damai sejauh
menyangkut penafsiran atau penerapan Konvensi; sengketa dapat diajukan kepada
Pengadilan International untuk Hukum Laut (International Tribunal for the
Law of the Sea) yang akan dibentuk berdasarkan Konvensi Hukum Laut ini,
kepada Mahkamah Internasional, atau kepada badan arbitrasi. Juga dapat
dilakukan melalui konsiliasi, dan dalam keadaan tertentu kepatuhan kepada
konsiliasi merupakan keharusan.
Namun,
sekalipun memberikan keseimbangan jaminan kepentingan antar negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang, KHL 1982 dianggap oleh sebagian pakar sebagai
terlalu ambisius dan tidak akan tercapai. Sikap apatis ini kelihatannya hamper
menjadi kenyataan mengingat sampai 10 tahun setelah dibukanya penandatanganan
Konvensi, Konvensi belum juga dapat diberlakukan. Menurut data di Perserikatan
Bangsa-Bangsa sampai dengan 31 Maret 1992 Konvensi ini baru diratifikasi oleh
51 negara.4
Keraguan
ini ditolak TTB Koch dengan mengemukakan alas an-alasan sebagai berikut:5
·
Konvensi akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan sebab Konvensi
akan menggantikan banyak sekali tuntutan yang saling bersaing oleh
negara-negara pantai yang secara universal menyetujui batas-batas laut wilayah,
zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.
·
Kepentingan masyarakat dunia dalam kebebasan pelayaran akan dipermudah oleh
kompromi-kompromi penting atas zona ekonomi eksklusif, oleh rezim lintas damai
melalui laut wilayah, dan rejim lintas transit melalui selat yang dipergunakan
untuk pelayaran internasional dan oleh rezim lintas alur kepulauan.
·
Kepentingan masyarakat dunia dalam pelestarian dan penggunaan optimum
sumber-sumber daya hayati laut dengan penerapan secara sadar
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi yang berkaitan dengan zona ekonomi
eksklusif.
·
Konvensi memuat aturan-aturan baru yang penting bagi pelestarian dan
perlindungan lingkungan laut dari pencemaran.
·
Konvensi memuat aturan-aturan mengenai penelitian ilmiah yang memberikan
keseimbangan antara negara-negara yang melakukan penelitian dan kepentingan
negara-negara pantai di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen tempat
dilakukan penelitian tersebut.
·
Kepentingan masyarakat dunia dengan penyelesaian secara damai dan diajukan
pencegahan penggunaan kekerasan di antara negara-negara dengan system
penyelesaian sengketa yang bersifat wajib dalam Konvensi.
·
Konvensi berhasil menerjemahkan asa bahwa sumber daya alam dasar laut dalam
merupakan warisan bersama umat manusia ke dalam institusi yang adil(fair)
dan dapat dilaksanakan (workable).
·
Walaupun belum ideal, namun kita dapat menemukan unsure-unsur keadilan (equity)
internasional dalam Konvensi seperti pembagian hasil atas landas kontinen di
luar 200 mil, pemberian akses kepada negara-negara yang tertutup daratan dan
negara-negara yang secara geografis tidak menguntungkan atas sumber daya hayati
ZEE dan negara-negara tetangga mereka, hubungan nelayan pantai (coastal
fisheries) dan nelayan perairan yang jauh dari pantai (distant water
fisheries), dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi sumber
laut dalam.
Penolakan Koch tersebut menjadi
kenyataan, yakni dengan penyimpanan (depository) instrument ratifikasi
ke-60 KHL 1982 pada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa 16 Nopember
1993. Dan, sesuai dengan ketentuan pasal 308 (1), maka 1 tahun kemudian, 16
Nopember 1994 KHL III 1982 yang terdiri dari 320 pasal dan 9 lampiran tersebut
berlaku bagi masyarakt internasional.6
BAB
VIII
PEMBAGIAN
KAWASAN LAUT
MENURUT
KONVENSI HUKUM LAUT III 1982
KHL
1982 membagi kawasan laut atas perairan pedalaman dan perairan kepulauan, laut
wilayah, jallur tambahan, landas kontinen, ZEE, dasar laut dalam (deep seabed)
dan laut bebas.
A. Perairan Pedalaman
Perairan
pedalaman adalah perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal. Garis
pangkal adalah tempat mulai siukurnya laut wilayah wilayah, jalur tambahan,
landas kontinen, ZEE.
Berbeda
dengan kedaan sebelumnya yang membedakan garis pangkal atas garis pangkal biasa
(normal baseline) dan garis pangkal lurus (straight baseline),
maka KHL 1982 membedakan garis pangkal atas garis pangkal biasa, garis pangkal
llurus, dan garis pangkal kepulauan (archipelagic straight baseline).
Garis
pangkal biasa adalah garis pangkal yang ditetapkan berdasarkan garis atau titik
air rendah (low water line/low water mark) di sini tidak aka nada
perairan pedalaman dan perairan kepulauan.
Garis
pangkal lurus adalah garis tegak lurus yang ditarik dari titik-titik yang
menghubungkan ujung pulau-pulau yang menghubungkan pulau-pulau di sekitar
pantai, lekukan (teluk) atau sungai, tempat mulai diukurnya laut wilayah, jalur
tambahan, landas kontinen, ZEE. Bagian perairan yang terletak di sisi dalam
garis pangkal, atau di sisi yang menuju kea rah darat disebut perairan
pedalaman. Menurut KHL 1982, ada beberapa keadaan yang menimbulkan laut
pedalaman, yaitu:
a.
Dalam garis pantai menjorok jauh ke dalam jika terdapat daratn pulau sepanjang
pantai di dekatnya, dapat ditarik garis pangkal lurus di antara titik-titik
tertentu di antara titik-titik atau pulau-pulau itu (Pasal 7). Garis pangkal
llurus ini harus mengikuti arah umum pantai. Dan, perairan kea rah darat ini
menjadi perairan pedalaman.
b.
Dalam hal garis pantai menjorok jauh ke dalam sehingga mungkin untuk
menetapkan laut yang tertutup daratan (seperti dalam kasus teluk yang
diameternya lebih besar dari setengah lingkaran yang sesuai dengan garis
penutup mulut lekukan (teluk). Penetapan garis penutup tersebut tidak boleh
melebihi 24 mil laut (pasal 10). Perairan kea rah darat ini memiliki status
perairan pedalaman.
c.
Pada sungai yang mengalir langsung ke laut, dapat ditarik garis pangkal yang
memotong mulut sungai di antara garis air rendah dari tebing-tebingnya.
Pada
perairan pedalaman negara pantai memiliki kedaulatan mutlak terhadap
perairannya sendiri, tanah dan dasar laut di bawahnya serta ruang udara di
atasnya,kecuali apabila di dalam perairan itu terdapt selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional. Di selat ini berlaku rezim hokum hak lintas
damai seperti yagn berlaku pada laut wilayah.
Garis
pangkal kepulauan adalah garis tegak lurus yang ditarik dari ujung terluar
pulau terluar dari kelompok pulau-pulau pada negara kepulauan, sebagai tempat
mulai diukurnya laut wilayah, jalur tambahan landas kontinen, ZEE. Bagian
perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal, atau di sisi yang menuju
kea rah darat disebut perairan kepulauan.
Negara
kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari kepulauan satu atau lebih
dengan ketentuan bahwa pulau-pulau utama yang berada dalam garis pangkal
tersebut memiliki perbandingan air dengan darat tidak melebihi 9:1, dengan
panjang garis pangkal ini tidak boleh lebih dari 100 mil, kecuali tiga
persennya boleh sampai 125 mil laut. Garis pangkal kepulauan ini tidak boleh
menyimpang jauh dari konfigurasi umum kepulauan (pasal 47).
Berbeda
dengan perairan pedalaman, perairan kepulauan tunduk kepada rejim khusus yang
berkaitan dengan pelayaran dan penerbangan.1 Di perairan kepulauan
kapal-kapal asing memiliki hak lintas kepulauan (archipelagic passage)
melalui alur laut kepulauan (archipelagic sea-lane), dan hak penerbangan
di atas alur kepulauan atau disebut lintas rute penerbangan (air route
passage). Alur-alur kepulauan tersebut harus ditetapkan oleh negara
kepulauan. Jika tidak, maka berlaku alur yang biasa digunakan bagi pelayaran
internasional (pasal 53). Sedangkan untuk selat-selat yang biasanya digunakan
untuk pelayaran internasional, tunduk pada rezim lintas transit.
B. Laut Wilayah
Laut
wilayah adalah bagian laut selebar 12 mil diukur dari garis pangkal. Konvensi
memuat secara rinci keadaan khusus yang berkaitan dengan penetapan garis
pangkal terkait dengan laut wilayah, yaitu garis pangkal dapat ditetapkan dari:
a.
Bagian terluar instalasi pelabuhan yang permanen yang merupakan bagian integral
dari system pelabuhan;
b.
Tempat berlabuh di tengah laut (roadsteds) yang biasanya dipakai untuk
memuat,membongkar dan menambat kapal dan yang seluruh atau sebagiannya terletak
di luar batas laut wilayah, termasuk ke dalam laut wilayah;
c.
Elevasi surut2 yang seluruhnya atau sebagiannya terletak pada suatu
jarak yang tidak melebihi lebar laut wilayah dari daratan utama atau pulau;
selevasi surut ini dapat dijadikan sebagai garis pangkal untuk maksud
pengukuran lebar laut wilayah.
Negara pantai memiliki kedaulatan
penuh atas laut wilayahnya, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya. Namun,
berbeda dengan perairan pedalaman, laut wilayah tunduk pada rejim lintas damai
bagi kapal asing (Pasal 17).
Menurut
Pasal 19 (1) KHL III 1982, suatu lintas dikatakan damai jika tidak merugikan
bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Lintas ini harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hokum
internasional lainnya. Selanjutnya, dalam Pasal 19 (2) dinyatakan bahwa lintas
kapal asing harus dipandang membahayakan perdamaian, ketertiban atau keamanan
negara pantai jika kapal tersebut melakukan salah satu dari kegiatan-kegiatan
berikut:
a.
Ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau
kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan
pelanggaran asas hokum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa;
b.
Setiap latihan atau praktik senjata apa pun;
c.
Setiap perbuatan yang bertujuan mengumpulkan informasi yang merugikan bagi
pertahanan atau keamanan negara pantai;
d.
Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mengumpulkan informasi yang
merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
e.
Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal;
f.
Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peraltan dan perlengkapan
militer;
g.
Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan beacukai, fiscal, imigrasi atau saniter negara
pantai;
h.
Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah bertentangan dengan
Konvensi ini;
i.
Setiap kegiatan perikanan;
j.
Setiap kegiatan survey
v