BABA II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Budaya Hukum dan Masyarakat
Budaya
hukum adalah tanggapan umum yang sama dari
masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan
kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya
hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat
yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum
yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Apa yang
dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut
opini public para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan
fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya
diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum
(Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2)
Pengertian masyarakat
yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari berbagai kalangan, baik golongan
mampu ataupun golongan tak mampu, yang tinggal di dalam satu wilayah dan
telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai peraturan yang siap untuk
ditaati.
B. Tipe-tipe Budaya hukum
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri
dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang
beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi
hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun
berpengaruh secara nasional.
secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu:
secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial
culture)
Pada masyarakat parokial (picik),
cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap
hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih
bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah
digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang
berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki
ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris,
maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis
maka warga masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan
dirinya sebagai primus intervares, yang utama di antara yang sama. Pada
umumnya, masyarakat yang sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih
mengutamakan dan membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri
lebih baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).
(2)
Budaya
subjek (subject culture)
Dalam masyarakat budaya subjek
(takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul
kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi.
Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini
disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih
terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa.
Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada
sikap menerima atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif,
tidak terang-terangan atau masih tersembunyi. Tipe masyarakat yang bersifat
menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi
berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang
dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya
(Kartaprawira, 1983).
(3) Budaya partisipant (participant
culture)
Pada masyarakat budaya partisipan
(berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya
berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa
berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari
kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau
dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut
menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan
hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan
dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman
anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya
berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas
ke bawah (Kantaprawira, 1983).
C.
Pengaruh Budaya Hukum terhadap Penegakan hukum
Menurut
Profesor Soerjono Soekanto faktor-faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum,
sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan
tak lain adalah dwitunggal dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh
amat penting dalam bekerjanya sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka
tak heran jika ahli-ahli hukum tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg,
mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan
kekuatan mengikat dari hukum.
Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat
ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari
masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat
dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan
munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan
hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa
yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh
masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan
apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka
Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya.[8] Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur hukum diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin.
Kualitas
budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum
dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang
akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika budaya
belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam
rangka penegakan hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian"
secara terpadu, mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi
antar lembaga polisi, jaksa,pengacara, hakim serta menerapkan sistem hukum
dengan melakukan rencana tindakan yang nyata. Selain itu juga harus ada kemauan
politik yang kuat dari para penguasa negara ini baik dari pemerintah maupun
dari unsur legislatif ( Presiden bersama-sama DPR) dengan suatu keberanian
moral dan konsistensi hukum dengan meresponnya. Para aparat penegak hukum
harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini
dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya
manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para
aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat
penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan
efisien.
Aspek
perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan
ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak
hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan
hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya.
Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak
baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak
perkara yang tidak dapat dijerat oleh hukum
D.
Upaya
Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat
Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia antara lain:
1. undang-undang yang dihasilkan oleh
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mencerminkan kepentingan pengusaha
dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2. lemahnya kehendak konstitusional
dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3. rendahnya integritas aparat penegak
hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4. paradigma penegakan hukum yang
positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5. minimnya sarana dan prasarana
penegakan hukum,
6. sistem hukum yang tidak sistematis.
7. tingkat kesadaran dan budaya hukum
yang kurang di masyarakat.
Upaya untuk
mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia sebenarnya sangat
susah, karena culture yang ada di indonesia itu sangat bermacam-macam dan
beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi kaitannya dengan
budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran hukum itu
mungkin disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan
pentingnya hukum bagi kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan
terjadi kekacauan dimana-mana. Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di
masyarakat mungkin pemerintah atau aparat penegak hukum sebagai pembuat dan
pelaksana dapat lebih mensosialisasikan hukum itu sendiri kepada masyarakat.
Agar masyarakat dapat lebih mengerti mengenai akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan
bermasyarakat. Upaya untuk mengubah budaya yang ada di masyarakat itu harus
diawali dengan pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap
masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan.
Soerjono
Soekamto menganalisa efektifitas bekerjama hukum dari sudut yang agak berbeda
yaitu :
- Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
- sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
- Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir saat ini
- penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku kepada masyarakat
- memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu
terimakasih , cukup jelas
BalasHapus