Senin, 30 Mei 2016

Budaya Hukum dan Masyarakat



BABA II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Budaya Hukum dan Masyarakat
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).
Apa yang dimaksud “budaya hukum” adalah keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana system hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Budaya hukum bukan bukanlah apa yang secara kasar disebut opini public para antropolog, budaya itu tidak sekedar berarti himpunan fragmen-fragmen tingkah laku (pemikiran) yang saling terlepas, istilah budaya diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang berhubungan dengan hukum (Soerjono Soekanto, hukum dan masyarakat universitas Airlangga 1977 : 2)
Pengertian masyarakat yaitu sekumpulan orang yang, terdiri dari berbagai kalangan, baik golongan mampu ataupun golongan tak mampu,  yang tinggal di dalam satu wilayah dan telah memiliki hukum adat, norma-norma serta berbagai peraturan yang siap untuk ditaati.

B.   Tipe-tipe Budaya hukum
Masyarakat majemuk seperti masyarakat kita, yang terdiri dari berbagai suku, budaya dan agama, tentu akan memiliki budaya hukum yang beraneka ragam. Semuanya itu akan memperkaya khasanah budaya dalam menyikapi hukum yang berlaku, baik di lingkungan kelompok masyarakatnya maupun berpengaruh secara nasional.

secara umum budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu:
(1) Budaya parokial (parochial culture)
Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).
      (2) Budaya subjek (subject culture)
 Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun
cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).
(3) Budaya partisipant (participant culture)
Pada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).

C.   Pengaruh Budaya Hukum terhadap Penegakan hukum
Menurut Profesor Soerjono Soekanto  faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu: hukum itu sendiri, penegak hukum, sarana atau fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan tak lain adalah dwitunggal dalam elemen budaya hukum yang memiliki pengaruh amat penting dalam bekerjanya sebuah sistem besar, bernama sistem hukum. Maka tak heran jika ahli-ahli hukum tersohor, seperti Krabbe dan Kranenburg, mengatakan jika budaya dan kesadaran hukum adalah satu-satunya sumber dan kekuatan mengikat dari hukum.
Hukum yang dibuat pada akhirnya sangat ditentukan oleh budaya hukum yang berupa nilai, pandangan serta sikap dari masyarakat yang bersangkutan. Jika budaya hukum diabaikan, maka dapat dipastikan akan terjadi kegagalan dari sistem hukum modern yang ditandai dengan munculnya berbagai gejala seperti : Kekeliruan informasi mengenai isi peraturan hukum yang ingin disampaikan kepada masyarakat, Muncul perbedaan antara apa yang dikehendaki oleh undang-undang dengan praktek yang dijalankan oleh masyarakat, Masyarakat lebih memilih untuk tetap bertingkah laku sesuai dengan apa yang telah menjadi nilai-nilai dan pandangan dalam kehidupan mereka

Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya.[8] Unsur budaya hukum ini mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat.tanpa budaya hukum maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman "without legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum  dalam unsur-unsur sistem hukum adalah  struktur hukum diibaratkan sebagai  mesin yang menghasilkan sesuatu,  substansi hukum diibaratkan produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin.

Kualitas budaya hukum menentukan kualitas penegakan hukum. Sebaik apa pun aturan hukum dibuat, sedetail apa pun kelembagaan dan manajemen organisasi disusun, yang akan menjalankan adalah manusia yang hidup dalam budaya tertentu.Ketika budaya belum berubah, aturan dan sistem tidak akan berjalan sesuai harapan. Dalam rangka penegakan hukum harus dilakukan dengan "pengorganisasian" secara terpadu, mengedepankan komitmen dan fakta integritas, moral yang tinggi antar lembaga polisi, jaksa,pengacara, hakim serta menerapkan sistem hukum dengan melakukan rencana tindakan yang nyata. Selain itu juga harus ada kemauan politik yang kuat dari para penguasa negara ini baik dari pemerintah maupun dari unsur legislatif ( Presiden bersama-sama DPR) dengan suatu keberanian moral dan konsistensi hukum dengan meresponnya.  Para aparat penegak hukum harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini dinilai tidak adil dan buruk dan berubah ke arah peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas para aparat penegak hukum yang ideal. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien.
Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum  perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya) hukumnya. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara yang tidak dapat dijerat oleh hukum
                                                                                                                           
D.   Upaya Menumbuhkan Budaya Kesadaran Hukum dalam Masyarakat

Menurut Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Imam Anshori Saleh mengatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum (pidana) di Indonesia antara lain:
1.      undang-undang yang dihasilkan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat lebih mencerminkan kepentingan pengusaha dan penguasa daripada kepentingan rakyat kebanyakan.
2.      lemahnya kehendak konstitusional dari para pemimpin dan penyelenggara negara di Indonesia.
3.      rendahnya integritas aparat penegak hukum seperti polisi, hakim, jaksa dan advokat.
4.      paradigma penegakan hukum yang positivistik atau lebih menekankan pada aspek legal formal.
5.      minimnya sarana dan prasarana penegakan hukum,
6.      sistem hukum yang tidak sistematis.
7.      tingkat kesadaran dan budaya hukum yang kurang di masyarakat.

Upaya untuk mengubah budaya yang sudah ada pada masyarakat indonesia sebenarnya sangat susah, karena culture yang ada di indonesia itu sangat bermacam-macam dan beraneka ragam, sangat tidak mungkin untuk mengubahnya. Tetapi kaitannya dengan budaya masyarakat Indonesia yang sangat kurang terhadap kesadaran hukum itu mungkin disebabkan karena dari awal masyarakat itu tidak mengerti akan pentingnya hukum bagi kehidupan, kalau saja tidak ada hukum mungkin akan terjadi kekacauan dimana-mana. Untuk dapat meningkatkan kesadaran hukum di masyarakat mungkin pemerintah atau aparat penegak hukum sebagai pembuat dan pelaksana dapat lebih mensosialisasikan hukum itu sendiri kepada masyarakat. Agar masyarakat dapat lebih mengerti mengenai akan pentingnya hukum itu bagi kehidupan bermasyarakat. Upaya untuk mengubah budaya yang ada di masyarakat itu harus diawali dengan pensosialisasian yang lebih mendalam dan terarah terhadap masyarakat mengenai pentingnya hukum bagi kehidupan.
Soerjono Soekamto menganalisa efektifitas bekerjama hukum dari sudut yang agak berbeda yaitu :
  1. Perlunya pemberian teladan kepatuhan hukum oleh para pengek hukum;
  2. sikap yang tegas (zakelijk) dari aparat
  3. Penyesuaian perturan yang belaku dengan perkembangan tekhnologi mutkhir saat ini
  4. penerangan, penyuluhan mengenai peraturan yang sedang dan akan berlaku kepada masyarakat
  5. memberi waktu yang cukup kepada masyarakat untuk memahami peraturan itu

1 komentar: