Senin, 30 Mei 2016

Pajak Rokok



PAJAK ROKOK








NAMA            : INDRA ALAM MUZZAKIR
NIM                : D1A 014 137
DOSEN          : HAERUMAN JAYADI SH., MH.




PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM REGULER PAGI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2016


PAJAK ROKOK

A.    Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Pajak Rokok
Pajak rokok diatur dalam Undang-undang  Nomer 28 Tahun 2009 Pasal 26 sampai dengan Pasal 31. Dimana pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah disetor ke rekening kas umum provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, pajak rokok dapat dipungut setelah Daerah menerbitkan Perda mengenai Pajak Rokok.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi adanya kebijakan Pajak Rokok, yaitu :
                  1.          Tujuan utama penerapan Pajak Rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok. Penerapan Pajak Rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan Pajak Rokok maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat bisa menjadi lebih baik.
                  2.          Perlunya penerapan pajak yang lebih adil kepada seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya daerah yang mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat digunakan untuk mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok) hanya daerah penghasil rokok dan penghasil tembakau;
                  3.          Perlunya peningkatan local taxing power guna meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya pelayanan kesehatan;
                  4.          Perlunya penerapan piggyback taxes, atau tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi barang yg perlu dikendalikan, sesuai dengan best practice yg berlaku di negara lain; dan
                  5.          Perlunya pengendalian dampak negatif rokok, karena terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di Indonesia (jumlah penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional), meningkatnya dampak negatif konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak dalam harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan Negara lain khususnya Negara ASEAN. Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial salah satunya bahaya rokok.

B.     Subyek, Obyek dan Wajib Pajak Rokok
1.      Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
Yang dimaksud dengan rokok meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
a)      Sigaret adalah hasil tembakau yang dbuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan cara dilanting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
b)      Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris aytau tidak, dengan cara digulung, sedemikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
c)      Rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilanting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
Berdasarkan ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 pasal 26 ayat 3 huruf a, cukai tidak dipungut atas barang kena cukai terhadap tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu. Selain itu, pasal 26 ayat 2 ditentukan bahwa cukai juga tidak dipungut atas barang kena cukai (termasuk hasil tembakau) apabila :
a)      Diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar daerah pabean;
b)      Diekspor;
c)      Dimasukkan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan;
d)     Digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai; atau
e)      Telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari pabrik, tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai.
2.      Subjek dan Wajib Pajak Rokok
Pada Pajak Rokok yang menjadi subjek pajak adalah konsumen rokok. Sedangkan yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importer rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah pusat, disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh Undang-Undang dan Peraturan Daerah tentang Pajak Rokok. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.

C.     Asas Pemungutan Pajak Rokok
Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak secara umum, antara lain:
                    1.            Adam Smith, pencetus teori The Four Maxim.
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a)      Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
b)      Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c)      Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d)     Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
                    2.            Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a)      Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
b)      Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
c)      Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
d)     Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
e)      Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
                    3.            Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a)      Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
b)      Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
c)      Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
d)     Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
e)      Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan terhadap rokok, dengan besaran tarif 10 persen dari cukai rokok. Pemanfaatan Pajak Rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat berwenang.
Pengertian cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan oleh Negara terhadap barang-barang yang memiliki karakteristik dan sifat tertentu, dimana penggunaannya telah diatur didalam undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengertian cukai rokok berarti rokok dikenakan pajak oleh pemerintah dengan tariff tertentu. Undang-undang mengenai pengenaan dan ketetapan cukai telah diatur dalam undang-undang No. 11 Tahun 1995 diubah dengan undang-undang No. 39 Tahun 2007 tentang cukai.
Adapun barang yang dikenai cukai oleh pemerintah memiliki karakteristik yaitu:
a)      Jenis barang yang konsumsinya perlu dikendalikan secara khusus penggunaannya didalam masyarakat luas.
b)      Barang yang peredarannya didalam masyarakat perlu diawasi secara khusus.
c)      Barang yang didalam pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat luas ataupun bagi lingkungan hidup sekitarnya.
d)     Barang yang pemakaiannya perlu dilakukan pembebanan pungutan Negara, dimana hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan ditengah masyarakat luas.
Adapun contoh barang yang dikenai cukai, antara lain:
1.      Etil alkohol atau etanol, dimana barang ini dikenai cukai dengan tidak mengindahkan bahan baku atau bahan dasar yang digunakan serta proses yang dilakukan dalam pembuatannya.
2.      Berbagai macam hasil olahan tembakau, seperti: sigaret, tembakau iris, cerutu, rokok daun, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.
3.      Berbagai macam minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapapun.

D.    Sistem Pemungutan Pajak Rokok
Pemungutan pajak rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai. kemudian, hasil pemungutan tersebut  diserahkan oleh DJBC dan selanjutnya akan dipungut pajaknya sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan yaitu 10%. Hasil pemungutan (penerimaan) pajak rokok tersebut akan ditampung sementara dalam rekening kas negara, untuk selanjutnya akan disetor ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk masing-masing provinsi. Penyetoran ke provinsi dilaksanakan secara triwulanan, yakni pada bulan pertama triwulan berikutnya. Khusus untuk penyetoran triwulan IV hanya mencakup penerimaan pajak rokok bulan Oktober dan Desember, sedangkan penerimaan bulan Desember akan disetor ke provinsi setelah ditetapkannya hasil audit Laporan Arus Kas Pemerintah oleh BPK.
Ketentuan mengenai pemungutan dan penyetoran pajak rokok telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok. Pajak rokok memang dikategorikan sebagai pajak provinsi atau pajak yang menjadi pendapatan provinsi. Walaupun begitu, pajak rokok tersebut harus dibagi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pajak Rokok ini akan diterima oleh pemerintah kabupaten/kota sebesar 70% dan 30% akan diperuntukkan bagi pemerintah provinsi. Sesuai Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penerimaan pajak rokok tersebut, baik yang bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, harus dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Pajak rokok ini sebenarnya dipungut oleh pemerintah daerah. Sebab, pajak rokok memang menjadi pajak daerah provinsi. Namun, karena UU Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan pemungutan pajak ini ke Bea Cukai, maka Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC) mulai menyiapkan mekanismenya. Dengan begitu, ketika ini diterapkan maka proses pemungutan pajak rokok tidak menimbulkan masalah.
Saat ini Ditrektorat Jendral Bea Cukai (DJBC) sedang menyiapkan tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya adalah pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut. Misalkan seorang produsen rokok menyetorkan cukai rokok sebesar Rp 100 juta. Ia juga harus membayar tambahan pajak rokok sebesar Rp 10 juta. Jadi total yang harus disetorkan oleh produsen rokok tersebut adalah Rp 110 juta. Pajak rokok tersebut tentunya akan menjadi beban bagi produsen rokok.  Tetapi, ujung-ujungnya nanti para produsen rokok pasti akan membebankan pajak tersebut lagi ke konsumen dengan menaikkan harga jual rokok.

E.     Jenis dan Besar Tarif Pajak Rokok
Tarif pajak rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pada penjelasan Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat diberlakukannya ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh persen dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional.
Adapun besar tarif cukai rokok, antara lain:
1.      Tarif advolarium : 40% dari harga jual eceran (HJE)
2.      Tarif cukai spesifik : Rp 200,-/batang.
3.      Jika menggunakan penggabungan maka tarifnya : Rp 200,-/batang + 40% HJE.

Sebagai contoh pemerintah pusat menetapkan tariff cukai spesifik sebesar Rp. 200,00/batang dan tarif advalorum (harga dasar) sebesar 40% dari Harga Jual Eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah pusat. Dalam kasus ini besarnya dasar pengenaan Pajak Rokok ditentukan sebagai berikut:
1.      Apabila pemerintah pusat hanya mengenakan tarif spesifik, dasar pengenaan pajak adalah Rp. 200,00/batang;
2.      Apabila pemerintah pusat hanya mengenankan tarif advalorum, dasar pengenaan pajak adalah 40% x HJE; dan
3.      Apabila pemerintah pusat mengenakan tariff spesifik dan tariff advalarium, dasar pengenaan pajak adalah (Rp. 200,00/batang + 40% HJE)
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Rokok adalah sesuai dengan rumus berikut:
Pajak Terutang   = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Cukai Yang Ditetapkan Oleh Pemerintah Pusat Terhadap Rokok.

Sejarah Antropologi Hukum



BAB I
PENDAHULUAN

1.             Latar Belakang
Antropologi Hukum merupakan salah satu mata kuliah di Fakultas Hukum. Antropologi Hukum sendiri terdiri dari dua kata yaitu Antropologi dan Hukum. Kata Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu Anthropos yang berarti manusia dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi, antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia. Sedangkan hukum merupakan suatu aturan, norma atau kaidah yang mengatur dan menjadi pedoman tingkah laku manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa antropologi hukum merupakan ilmu yang mempelajari mengenai peran, status atau kedudukan, nilai, norma dan juga budaya atau kebudayaan manusia. Kesemuanya ini merupakan bahan kajian dan merupakan hal yang sangat erat dalam mempelajari antropologi hukum.
Sejak warsa 1980-an dunia pendidikan ilmu hukum di Indonesia semakin diperkaya dengan pengenalan studi-studi hukum empiris dengan menggunakan pendekatan antropologis. Untuk ini, T.O. Ihromi dan Valerine J.L. Kriekhoff dari UI bekerjasama dengan F. von Benda-Beckmann dari Wageningen Agriculture University the Netherlands dapat dinobatkan sebagai peletak dasar studi-studi antropologis tentang hukum yang kemudian dikenal sebagai antropologi hukum (anthropology of law, legal anthropology, anthropological study of law). Antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971:x, 1973:538; Ihromi, 1989:8).Karena itu, studi antropologis mengenai hukum secara khusus mempelajari proses-proses sosial di mana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirobah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat (F. von Benda-Beckmann, 1979, 1986).
Dari penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa betapa pentingnya mempelajari ilmu antropologi hukum sebagai ilmu yang mempelajari tentang bagaimana norma-norma hukum itu diimplementasikan di dalam kehidupan sosial masyarakat sehingga dalam makalah ini mencoba untuk memberi pemahaman mengenai bagaimana perkembangan antropologi Hukum dalam dunia pendidikan.
2.             Rumusan Masalah
Bagaimanakah sejarah perkembangan antropologi hukum sebagai salah satu sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis dalam dunia pendidikan?

3.             Manfaat dan Tujuan
Manfaat dan tujuan dari penyususnan makalah tentang sejarah perkembangan ilmu antropologi hukum ini antara lain : pertama untuk penyusun, sebagai salah satu sarana untuk mengetahui secara jelas mengenai sejarah perkembangan ilmu antropologi hukum dan sebagai sarana untuk memenuhi tugas mata kuliah antropologi hukum. Kemudian untuk pembaca, makalah ini sebagai referensi untuk mrngkaji lebih dalam mengenai sejarah perkembangan antropologi hukum di dunia pendidikan.










BAB II
PEMBAHASAN

1.             Fase awal studi teoritis mengenai hukum dengan pendekatan antropologis.
Awal pemikiran antropologis tentang hukum pada kenyataannya dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi dan bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory) mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan bahwa: hukum berkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana (primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981).
Tema kajian pada fase awal ini difokuskan pada fenomena hukum dalam masyarakat yang bersahaja (primitive), tradisional (traditional), dan kesukuan (tribal) dalam skala evolusi bentuk-bentuk organisasi sosial dan hukum yang mengiringi perkembangan masyarakat manusia. Sedangkan, metode kajian yang digunakan untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat adalah apa yang dikenal sebagai armchair methodology, yaitu metodologi untuk memahami hukum dalam perkembangan masyarakat melalui kajian-kajian yang dilakukan di belakang meja, sambil duduk di kursi empuk, dalam ruangan yang nyaman, dengan membaca dan menganalisis sebanyak mungkin documentary data yang bersumber dari catatan-catatan perjalanan para petualang atau pelancong, dari laporan-laporan berkala dan dokumen resmi para missionaris, pegawai sipil maupun para serdadu pemerintah kolonial dari daerah-daerah jajahannya (F. von Benda-Beckmann, 1989).

2.             Fase pada abad ke-20
Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum seperti yang dilakukan pada fase awal mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan (fieldwork methodology) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. Karya Barton, misalnya, yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakat suku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowski berjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikan pada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalam masyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampai sekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologi hukum. Tema-tema kajian yang dominan pada fase awal perkembangan antropologi hukum berkisar pada pertanyaan-pertanyaan : apakah hukum itu ? apakah ada hukum dalam masyarakat yang bersahaja, tradisional, dan kesukuan ?; bagaimanakah hukum bewrujud dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat ?

3.             Fase pada dekade tahun 1940-an sampai dengan 1950-an
Pada dekade tahun 1940-an sampai 1950-an tema-tema kajian antropologi hukum mulai bergeser ke mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa dalam masyarakat sederhana. Karya klasik dari Llewellyn dan Hoebel bertajuk The Cheyenne Way (1941) merupakan hasil studi lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum dengan ahli antropologi dalam masyarakat suku Cheyenne (suku Indian) di Amerika Serikat. Kemudian, Hoebel mempublikasikan The Law of Primitive Man (1954), disusul dengan karya Gluckman mengenai hukum orang Barotse dan Lozi di Afrika, karya Bohannan mengenai hukum orang Tiv, karya Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndendeuli, karya Fallers mengenai hukum dalam masyarakat suku Soga, dan karya Pospisil tentang hukum orang Kapauku di Papua. Fase perkembangan tema studi antropologi hukum ke arah mekanisme-mekanisme peneyelesaian sengketa seperti ini disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of dispute settlements.

4.             Fase pada dekade tahun 1960-an
Pada dekade tahun 1960-an tema studi-studi antropologi lebih memberi perhatian pada fenomena kemajemukan hukum atau pluralisme hukum. Tema pluralisme hukum pertama-tama difokuskan pada kemajemukan cara-cara penyelesaian melalui mekanisme tradisional, tetapi kemudian diarahkan kepada mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum pemerintah kolonial dan pemerintah negara-negara yang sudah merdeka. Karya Bohannan, Gluckman, dan Gulliver misalnya, tidak secara sistematis memberi perhatian pada eksistensi mekanisme dan institusi penyelesaian sengketa menurut hukum kolonial dan hukum negara-negara sedang berkembang.


5.             Fase pada dekade 1970-an
Sejak tahun 1970-an tema studi-studi antropologi hukum secara sistematis difokuskan pada hubungan antar institusi-institusi penyelesaian sengketa secara tradisional, neo-tradisional, dan menurut institusi hukum negara. Karya Nader dan Todd (1978) misalnya, memfokuskan kajiannya pada proses, mekanisme, dan institusi-institusi penyelesaian sengketa di komunitas masyarakat tradisional dan modern di beberapa negara di dunia, melalui Berkeley Village Law Projects, menjadi karya yang memperlihatkan kecenderungan baru dari topik-topik studi antropologi hukum. Publikasi lain yang perlu dicatat adalah mekanisme penyelesaian sengketa di kalangan orang Togo di Afrika karya van Rouveroy van Nieuwaal, kemudian karya F. von Benda-Beckmann (1979) dan K. von Benda-Beckmann (1984) yang memberi pemahaman tentang penyelesaian sengketa harta warisan di kalangan orang Minangkabau menurut pengadilan adat dan di pengadilan negeri di Sumatera Barat. Fase selanjutnya studi pluralisme mekanisme penyelesaian sengketa mulai ditinggalkan, dan mulai diarahkan kepada studi-studi pluralisme hukum di luar penyelesaian sengketa. Karya Sally F. Moore (1978) misalnya, mengenai kemajemukan hukum agraris dalam kehidupan suku Kilimanjaro di Afrika, dan mekanisme dalam proses produksi pabrik garment terkenal di Amerika dapat dicatat sebagai perkembangan baru studi pluralisme hukum. Kemudian, studi-studi pluralisme hukum mulai difokuskan pada mekanisme jaminan sosial (social security), pasar dan perdagangan, mekanisme irigasi pertanian, institusi koperasi dan perkreditan di daerah pedesaan di negara-negara sedang berkembang. Studi-studi ini dikembangkan oleh Agrarian Law Department Wageningen Agriculture University. Fase perkembangan tema pluralisme hukum yang menyoroti topik-topik penyelesaian sengketa maupun non penyelesaian sengketa, interaksi antara hukum negara, hukum rakyat, atau dengan hukum agama disebut oleh F. von Benda-Beckmann (1989) sebagai fase the anthropology of legal pluralism. Kecenderungan yang berkembang sejak tahun 1970-an adalah penggunaan pendekatan sejarah dalam studi-studi antropologi hukum. Studi yang dilakukan Moore (1986), Snyder (1981), F. von Benda-Beckmann (1979), K. von Benda- Beckmann (1984) misalnya, secara eksplisit menggunakan kombinasi dimensi sejarah untuk menjelaskan interaksi institusi hukum negara (state law) dengan hukum rakyat (folk law) dalam kajian pluralisme hukum penyelesaian sengketa..


BAB III
PENUTUP
1.             Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai sejarah perkembangan ilmu antropologi hukum tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Pada fase awal perkembangan antropologi hukum pendapat yang sangat dominan disini adalah yang menyatakan bahwa hukum itu berkembang sejalan dengan perkembangan hidup masyarakat. Kemudian pada abad ke-20, kajian ilmu antropologi hukum masih sebatas pada hal yang sederhana seperti pengenalan hukum. Fase selanjutnya perkembangan antropologi hukum telah mengkaji mengenai kemajemukan atau pluralisme hukum dalam masyarakat. Dan  pada fase terakhir kajian ilmu antropologi hukum telah mencapai suatu peningkatan yaitu mulai mengkaji mengenai penyelesaian sengketa yang terjadi di dalam masyarakat yang tentunya berdasarkan pada metode antropologi hukum baik secara tradisional, neo-tradisional, maupun dengan menggunakan hukum negara.
2.             Saran
Aspek penjelasan mengenai perkembangan ilmu antropologi hukum yang tercantum dalam makalah ini hanyalah sebagian kecil dari bahasan pokok yang terdapat dalam sumber-sumber seperti buku bacaan. Masih banyak aspek lain yang dapat menunjang dalam peningkatan pengetahuan mengenai sejarah perkembangan ilmu antropologi hukum. Oleh karena itu penulis mengharapkan pengkajian materi yang terkait dengan isi dalam makalah ini agar terus ditingkatkan.