PAJAK
ROKOK
NAMA : INDRA ALAM MUZZAKIR
NIM : D1A 014 137
DOSEN : HAERUMAN JAYADI SH., MH.
PROGRAM
STUDI S1 ILMU HUKUM REGULER PAGI
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
MATARAM
2016
PAJAK
ROKOK
A. Pengertian
dan Latar Belakang Munculnya Pajak Rokok
Pajak rokok
diatur dalam Undang-undang Nomer 28 Tahun 2009 Pasal 26 sampai dengan
Pasal 31. Dimana pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut
oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan
pemungutan cukai rokok. Pajak rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah
disetor ke rekening kas umum provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah
penduduk.
Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, pajak rokok dapat dipungut setelah Daerah menerbitkan Perda mengenai Pajak Rokok.
Sesuai ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, pajak rokok dapat dipungut setelah Daerah menerbitkan Perda mengenai Pajak Rokok.
Ada beberapa
hal yang melatarbelakangi adanya kebijakan Pajak Rokok, yaitu :
1.
Tujuan utama
penerapan Pajak Rokok adalah untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya rokok.
Penerapan Pajak Rokok sebesar 10 persen dari nilai cukai juga dimaksudkan untuk
memberikan optimalisasi pelayanan pemerintah daerah dalam menjaga kesehatan
masyarakat. Seperti diketahui bahwa rokok, membawa dampak kesehatan yang tidak
baik bagi perokok itu sendiri maupun orang lain. Pemerintah daerah berkewajiban
untuk menjaga kesehatan masyarakat. Selain itu pemda juga harus melakukan
pengawasan terhadap rokok di daerah masing-masing termasuk rokok ilegal. Dengan
Pajak Rokok maka kewajiban pemerintah untuk mengoptimalkan kesehatan masyarakat
bisa menjadi lebih baik.
2.
Perlunya penerapan pajak yang lebih adil kepada
seluruh daerah, agar seluruh daerah mempunyai sumber dana yang memadai untuk
mengendalikan dan mengatasi dampak negatif rokok, karena sebelumnya daerah yang
mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (yang sebagian dananya dapat
digunakan untuk mengendalikan/mengatasi dampak negatif rokok) hanya daerah
penghasil rokok dan penghasil tembakau;
3.
Perlunya peningkatan local taxing power guna
meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik, khususnya
pelayanan kesehatan;
4.
Perlunya penerapan piggyback taxes, atau
tambahan atas objek pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat terhadap konsumsi
barang yg perlu dikendalikan, sesuai dengan best practice yg berlaku di
negara lain; dan
5.
Perlunya pengendalian dampak negatif rokok, karena
terkait dengan meningkatnya tingkat prevalensi perokok di Indonesia (jumlah
penduduk perokok terhadap jumlah penduduk nasional), meningkatnya dampak
negatif konsumsi rokok bagi masyarakat, dan masih rendahnya komponen pajak
dalam harga rokok di Indonesia dibandingkan dengan Negara lain khususnya Negara
ASEAN. Pajak merupakan sumber utama
untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum tujuan
adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas
Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Selain untuk tujuan
umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk
tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang
yang berdampak negatif secara sosial salah satunya bahaya rokok.
B.
Subyek, Obyek dan Wajib Pajak Rokok
1.
Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
Yang dimaksud dengan rokok meliputi
sigaret, cerutu, dan rokok daun.
a)
Sigaret adalah hasil tembakau yang dbuat dari tembakau
rajangan yang dibalut dengan cara dilanting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan
bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret
terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
b)
Cerutu adalah hasil tembakau yang dibuat dari
lembaran-lembaran daun tembakau diiris aytau tidak, dengan cara digulung,
sedemikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan
pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya.
c)
Rokok daun adalah hasil tembakau yang dibuat dengan
daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilanting, untuk
dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan
dalam pembuatannya.
Berdasarkan
ketentuan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah
dengan Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 pasal 26 ayat 3 huruf a, cukai tidak
dipungut atas barang kena cukai terhadap tembakau iris yang dibuat dari tembakau
hasil tanaman Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan
pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak
dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan
lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan atau pada
kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau
yang sejenis itu. Selain itu, pasal 26 ayat 2 ditentukan bahwa cukai juga tidak
dipungut atas barang kena cukai (termasuk hasil tembakau) apabila :
a)
Diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar
daerah pabean;
b)
Diekspor;
c)
Dimasukkan ke dalam pabrik atau tempat penyimpanan;
d)
Digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam
pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai; atau
e)
Telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari
pabrik, tempat penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk
dipakai.
2.
Subjek dan Wajib Pajak Rokok
Pada Pajak
Rokok yang menjadi subjek pajak adalah konsumen rokok. Sedangkan yang menjadi
wajib pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importer rokok yang
memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Pajak Rokok
dipungut oleh instansi pemerintah pusat yang berwenang memungut cukai bersamaan
dengan pemungutan cukai rokok. Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi
pemerintah pusat, disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara
proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Dalam menjalankan kewajiban
perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan
oleh Undang-Undang dan Peraturan Daerah tentang Pajak Rokok. Wakil wajib pajak
bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas
pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa
dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya.
C.
Asas Pemungutan Pajak Rokok
Untuk dapat mencapai tujuan dari
pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak
secara umum, antara lain:
1.
Adam
Smith, pencetus teori The Four Maxim.
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The
Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a)
Asas
Equality
(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang
dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib
pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
b)
Asas
Certainty (asas
kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
c)
Asas
Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas
kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat
yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya
atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
d)
Asas
Efficiency
(asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat
mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil
pemungutan pajak.
2.
Menurut
W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
a)
Asas
daya pikul: besar
kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib
pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
b)
Asas
manfaat: pajak
yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat untuk kepentingan umum.
c)
Asas
kesejahteraan:
pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
d)
Asas
kesamaan: dalam
kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan
pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
e)
Asas
beban yang sekecil-kecilnya:
pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika
dibandingkan dengan nilai obyek pajak sehingga tidak memberatkan para wajib
pajak.
a)
Asas
politik finansial:
pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga dapat membiayai atau
mendorong semua kegiatan negara.
b)
Asas
ekonomi:
penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan, pajak untuk
barang-barang mewah
c)
Asas
keadilan: pungutan
pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk kondisi yang sama
diperlakukan sama pula.
d)
Asas
administrasi:
menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak),
keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
e)
Asas
yuridis: segala
pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Dasar
pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan terhadap rokok,
dengan besaran tarif 10 persen dari cukai rokok. Pemanfaatan Pajak Rokok
minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh
aparat berwenang.
Pengertian
cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan oleh Negara
terhadap barang-barang yang memiliki karakteristik dan sifat tertentu, dimana
penggunaannya telah diatur didalam undang-undang yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pengertian cukai rokok berarti rokok dikenakan pajak oleh
pemerintah dengan tariff tertentu. Undang-undang mengenai pengenaan dan
ketetapan cukai telah diatur dalam undang-undang No. 11 Tahun 1995 diubah
dengan undang-undang No. 39 Tahun 2007 tentang cukai.
Adapun barang yang dikenai cukai oleh pemerintah
memiliki karakteristik yaitu:
a)
Jenis barang yang konsumsinya perlu dikendalikan
secara khusus penggunaannya didalam masyarakat luas.
b)
Barang yang peredarannya didalam masyarakat perlu
diawasi secara khusus.
c)
Barang yang didalam pemakaiannya dapat menimbulkan
dampak negatif bagi masyarakat luas ataupun bagi lingkungan hidup sekitarnya.
d)
Barang yang pemakaiannya perlu dilakukan pembebanan
pungutan Negara, dimana hal ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dan
keseimbangan ditengah masyarakat luas.
Adapun contoh barang yang dikenai
cukai, antara lain:
1.
Etil alkohol atau etanol, dimana barang ini dikenai
cukai dengan tidak mengindahkan bahan baku atau bahan dasar yang digunakan
serta proses yang dilakukan dalam pembuatannya.
2.
Berbagai macam hasil olahan tembakau, seperti:
sigaret, tembakau iris, cerutu, rokok daun, dan hasil pengolahan tembakau
lainnya.
3.
Berbagai macam minuman yang mengandung etil alkohol
dalam kadar berapapun.
D.
Sistem Pemungutan Pajak Rokok
Pemungutan
pajak rokok ini akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai.
kemudian, hasil pemungutan tersebut diserahkan oleh DJBC dan selanjutnya
akan dipungut pajaknya sesuai dengan tarif yang sudah ditentukan yaitu 10%.
Hasil pemungutan (penerimaan) pajak rokok tersebut akan ditampung sementara dalam
rekening kas negara, untuk selanjutnya akan disetor ke Rekening Kas Umum Daerah
Provinsi sesuai proporsi jumlah penduduk masing-masing provinsi. Penyetoran ke
provinsi dilaksanakan secara triwulanan, yakni pada bulan pertama triwulan
berikutnya. Khusus untuk penyetoran triwulan IV hanya mencakup penerimaan pajak
rokok bulan Oktober dan Desember, sedangkan penerimaan bulan Desember akan
disetor ke provinsi setelah ditetapkannya hasil audit Laporan Arus Kas
Pemerintah oleh BPK.
Ketentuan
mengenai pemungutan dan penyetoran pajak rokok telah diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan
Penyetoran Pajak Rokok. Pajak rokok memang dikategorikan sebagai pajak provinsi
atau pajak yang menjadi pendapatan provinsi. Walaupun begitu, pajak rokok
tersebut harus dibagi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pajak Rokok ini akan
diterima oleh pemerintah kabupaten/kota sebesar 70% dan 30% akan diperuntukkan
bagi pemerintah provinsi. Sesuai Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
penerimaan pajak rokok tersebut, baik yang bagian provinsi maupun bagian
kabupaten/kota, harus dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan
kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Pajak rokok ini sebenarnya dipungut
oleh pemerintah daerah. Sebab, pajak rokok memang menjadi pajak daerah
provinsi. Namun, karena UU Nomor 28 Tahun 2009 mengamanatkan pemungutan pajak
ini ke Bea Cukai, maka Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC) mulai menyiapkan
mekanismenya. Dengan begitu, ketika ini diterapkan maka proses pemungutan pajak
rokok tidak menimbulkan masalah.
Saat ini Ditrektorat Jendral Bea Cukai (DJBC) sedang menyiapkan tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya adalah pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut. Misalkan seorang produsen rokok menyetorkan cukai rokok sebesar Rp 100 juta. Ia juga harus membayar tambahan pajak rokok sebesar Rp 10 juta. Jadi total yang harus disetorkan oleh produsen rokok tersebut adalah Rp 110 juta. Pajak rokok tersebut tentunya akan menjadi beban bagi produsen rokok. Tetapi, ujung-ujungnya nanti para produsen rokok pasti akan membebankan pajak tersebut lagi ke konsumen dengan menaikkan harga jual rokok.
Saat ini Ditrektorat Jendral Bea Cukai (DJBC) sedang menyiapkan tata cara dan mekanisme pemungutan pajak rokok ini. Salah satu alternatifnya adalah pajak rokok dipungut bersamaan dengan pemungutan cukai. Jadi, ketika produsen rokok membayar setoran cukai rokok, pada saat bersamaan mereka juga akan membayar pajak rokok yang besarnya 10% dari setoran cukai yang mereka bayarkan tersebut. Misalkan seorang produsen rokok menyetorkan cukai rokok sebesar Rp 100 juta. Ia juga harus membayar tambahan pajak rokok sebesar Rp 10 juta. Jadi total yang harus disetorkan oleh produsen rokok tersebut adalah Rp 110 juta. Pajak rokok tersebut tentunya akan menjadi beban bagi produsen rokok. Tetapi, ujung-ujungnya nanti para produsen rokok pasti akan membebankan pajak tersebut lagi ke konsumen dengan menaikkan harga jual rokok.
E.
Jenis dan Besar Tarif Pajak Rokok
Tarif pajak
rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pada penjelasan Pasal 29 menyatakan bahwa pada saat diberlakukannya
ketentuan mengenai Pajak Rokok, pengenaan Pajak Rokok sebesar sepuluh persen
dari cukai rokok diperhitungkan dalam penetapan tarif cukai nasional.
Adapun besar
tarif cukai rokok, antara lain:
1.
Tarif advolarium : 40% dari harga jual eceran (HJE)
2.
Tarif cukai spesifik : Rp 200,-/batang.
3.
Jika menggunakan penggabungan maka tarifnya : Rp
200,-/batang + 40% HJE.
Sebagai
contoh pemerintah pusat menetapkan tariff cukai spesifik sebesar Rp.
200,00/batang dan tarif advalorum (harga dasar) sebesar 40% dari Harga Jual
Eceran (HJE) yang ditetapkan pemerintah pusat. Dalam kasus ini besarnya dasar
pengenaan Pajak Rokok ditentukan sebagai berikut:
1.
Apabila pemerintah pusat hanya mengenakan tarif
spesifik, dasar pengenaan pajak adalah Rp. 200,00/batang;
2.
Apabila pemerintah pusat hanya mengenankan tarif
advalorum, dasar pengenaan pajak adalah 40% x HJE; dan
3.
Apabila pemerintah pusat mengenakan tariff spesifik
dan tariff advalarium, dasar pengenaan pajak adalah (Rp. 200,00/batang + 40%
HJE)
Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum
perhitungan Pajak Rokok adalah sesuai dengan rumus berikut:
Pajak Terutang =
Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Cukai Yang Ditetapkan Oleh
Pemerintah Pusat Terhadap Rokok.