A. Pengertian hukum
internasional
Yang dimaksud dengan hukum internasional di sini adalah hukum internasional
publik. Penegasan ini perlu, guna membedakan hukum internasional dengan hukum
perdata internasional. Kedua jenis hukum ini sekalipun memiliki persamaan
tetapi juga memiliki perbedaan-perbedaan.
Untuk memperoleh kejelasan mengenai persamaan dan perbedaan antara kedua bidang
hukum itu, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan kedua bidang hukum tersebut sebagai
berikut:[1]
1. Hukum perdata
internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan hukum perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan
kata lain, hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum yang
berlainan.
2. Hukum internasional
publik adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat
perdata.
Dari kedua rumusan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menegaskan adanya persamaan
dan perbedaan antara kedua bidang hukum tersebut. Persamaannya, yakni keduanya
mengatur hubungan hukum yang melintasi batas-batas negara. Perbedaannya
terletak pada sifat dari hubungan hukumnya. Hukum perdata internasional
mengatur hubungan hukum yang bersifat perdata, sedangkan hukum internasional
publik mengatur hubungan hukum yang tidak bersifat perdata.[2]
Selain itu, berbeda dengan hukum internasional (publik) yang aturan hukumnya
benar-benar bersifat internasional dalam arti hanya ada satu hukum yang berlaku
bagi masyarakat internasional,[3]
hukum perdata internasional pada hakikatnya merupakan hukum nasional. Hanya
saja, dalam hukum perdata internasional ada unsur asingnya. Unsur asing itu
terdapat di dalam hubungan hukumnya[4]
Timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan hukum internasional tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini dikemukakan beberapa rumusan yang diajukan oleh
para pakar di bidang hukum internasional.
Oppenheim merumuskan hukum internasional sebagai himpunan aturan kebiasaan dan
perjanjian internasional yang dianggap mengikat menurut hukum oleh
negara-negara dalam hubungan mereka satu dengan lainnya.[5]
Menurut Brierly, hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan aturan
dan asas-asas perilaku yang mengikat terhadap negara-negara beradab dalam hubungan
negara-negara ini satu dengan lainnya.[6]
Sejalan dengan rumusan ini Mohammed Bedjaoui menegaskan bahwa hukum
internasional terdiri dari seperangkat norma dalam bentuk tertulis atau
sebaliknya, yang dimaksudkan untuk mendisiplinkan hubungan di antara
negara-negara itu sendiri.[7]
Ketiga rumusan tersebut, menegaskan bahwa hukum internasional mengatur
hubungan antar negara. Rumusan ini, yang menekankan pada pengaturan hubungan
antar negara[8]
dapat kita golongkan sebagai rumusan tradisional, suatu rumusan yang
sudah tidak sesuai dengan kenyataan sekarang. Pada masa sekarang hukum
internasional tidak hanya mengatur hubungan antar negara, tetapi juga mengatur
hubungan hukum antara negara dengan organisasi internasional bahkan juga dengan
orang perorangan. Tegasnya, hukum internasional tidak lagi sekedar mengatur
hubungan atau persoalan antar negara tetapi lebih luas daripada itu.
Sejalan dengan kenyataan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan sebagai
berikut:[9]
Hubungan atau persoalan internasional pada masa
sekarang tidak semuanya dapat disebut hubungan-hubungan atau
persoalan-persoalan antar negara. Kedudukan-kedudukan pejabat internasional
tempat mereka bekerja tidak tercakup di dalamnya.
Demikian pula
pelanggaran-pelanggaran ketentuan pidana daripada Konvensi-konvensi Jenewa
tahun 1949 oleh perorangan tidak dapat dikatakan persoalan antar negara.
Sebaliknya, persoalan di atas sukar digolongkan dalam bidang hukum tata usaha
negara atau hukum pidana yang tradisional.
Berdasarkan kenyataan ini, maka hukum internasional dirumuskan sebagai
keseluruhan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan
yang melintasi batas-batas negara antara: (1) negara dengan negara, (2) negara
dengan subyek hukum lain bukan negara, dan subyek hukum bukan negara satu
sama lain.[10]
Rumusan yang hamper sama dikemukakan juga oleh T.J. Lawrence. Lawrence
merumuskan hukum internasional sebagai kumpulan peratyuran yang menetapkan
perbuatan himpunan umum Negara-negara yang beradab dalam hubungan mereka satu
dengan lainnya, dan masing-masing Negara tersebut dengan subyek-subyek hokum
lainnya “the aggregate of the rules which determine the conduct of the
general body of civilised States in their dealings with each other and each
others subjects. (T.J. Lawrence)”.[11]
Rumusan atau batasan ini dapat kita
sebut sebagai rumusan modern. Rumusan modern ini dikemukakan juga oleh,
dan J.G. Starke. Menurut Starke:[12]
Hukum internasional dapat dirumuskan sebagai himpunan
hukum yang sebagian besar terdiri atas asas-asas dan aturan-aturan perilaku
yang dirasakan mengikat untuk ditaati oleh negara-negara itu, dan karena itu
pada umumnya ditaati dalam hubungan negara-negara itu satu dengan lainnya, dan
mencakup juga:
a) aturan hukum yang berkaitan
dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional,
hubungan lembaga atau organisasi internasional itu satu dengan lainnya, dan
b) hubungan lembaga atau organisasi
internasional itu dengan negara dan orang perorangan, dan aturan hukum tertentu
yang berkaitan dengan orang-perorangan dan badan-badan bukan negara
sejauh hak-hak dan kewajiban orang-perorangan itu merupakan kepentingan
masyarakat internasional.
Dengan demikian, maka hukum internasional tidak hanya mengatur hubungan antar
negara, tetapi juga mengatur hubungan antara negara dengan subyek hukum lain
bukan negara, dan subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya. Tentang subyek
hukum bukan negara ini akan dibahas dalam bagian lainnya.
Oppenheim membedakan hukum internasional atas hukum internasional universal,
hukum internasional umum dan hukum internasional khusus.[13]
Hukum internasional universal, adalah hukum internasional yang berlaku untuk
semua negara tanpa kecuali, seperti hukum yang berkaitan dengan hak-hak duta,
dan hukum mengenai perjanjian internasional. Hukum internasional umum adalah
hukum internasional yang mengikat banyak sekali negara, seperti Deklarasi Paris
1856, Perjanjian Internasional tentang Ruang angkasa 1967. Dan, hukum
internasional khusus adalah hukum internasional yang mengikat dua atau beberapa
negara.
Tampaknya, apa yang disebut hukum internasional universal dijadikan satu dengan
hukum internasional umum oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut beliau, dalam
perwujudannya di samping hukum internasional umum dikenal juga hukum internasional
regional dan hukum internasional khusus. Hukum internasional regional, adalah
hukum internasional yang terdapat dan berlaku di kawasan tertentu. Hukum
internasional jenis ini bersumber dari kebiasaan, dan pesertanya terbatas pada
kawasan tersebut. Sedangkan hukum internasional khusus, adalah hukum
internasional yang berlaku untuk negara-negara tertentu. Hukum internasional
khusus ini timbul dari perjanjian internasional neka pihak, dan pesertanya
tidak mesti terbatas pada kawasan tertentu saja.[14]
Baik hukum internasional regional maupun hukum internasioal khusus,
keduanya, tidak bertentangan dengan hukum internasional umum. Bahkan, keduanya
dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum internasional umum. Konsep
tentang landas kontinen yang bermula dari Proklamasi Presiden Amerika Serikat,
Truman pada tahun 1945 misalnya, dengan cepat diterima oleh masyarakat
internasional dan sekarang menjadi hukum internasional yang berlaku umum.
Selain istilah hukum internasional, dikenal juga istilah hukum dunia (world
law). Kedua istilah ini bertolak dari konsep yang berbeda. Pengertian hukum
internasional didasarkan pada pikiran adanya sejumlah negara berdaulat,
masing-masing berdiri sendiri, yang satu tidak di bawah yang lainnya. Di sini,
tidak terdapat suatu badan yang berada di atas negara, baik dalam bentuk negara
dunia maupun badan internasional lainnya. Dan, oleh karena itu, tertib hukum
yang mengaturnya bersifat koordinasi. Hukum dunia didasarkan pada konsep yang
sama sekali berbeda. Konsep yang mendasari hukum dunia ini banyak dipengaruhi
oleh analogi dalam hukum tata negara. Menurut konsep ini, hukum dunia merupakan
semacam negara (federal) dunia yang meliputi semua negara di dunia. secara
hirarkhis negara dunia berada di atas negara-negara. Dan, tertib hukum yang
mengaturnya bersifat subordinasi. Sesuai dengan kenyataan, maka konsep pertama
yang mendasari tertib hukum internasional lebih sesuai dengan keadaan
sekarang. Kemungkinan terwujudnya negara dunia, yang diatur oleh hukum dunia
masih jauh dari kenyataan.
B. Sifat dan hakikat mengikatnya
hukum internasional
Sebagaimana halnya dengan hukum pada umumnya, hukum internasional juga harus
memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat itu adalah: ada masyarakat, ada seperangkat
aturan tingkah laku manusia di dalam masyarakat, dan adanya persetujuan akan
adanya kekuasaan dari luar yang memaksakan ditaatinya aturan hukum tersebut.[15]
Menurut Oppenheim, masyarakat merupakan himpunan dari sejumlah orang-perorangan
yang sedikit banyak terikat bersama melalui kepentingan bersama yang menimbulkan
hubungan tetap dan beragam di antara orang-perorangan tunggal itu. Rumusan
masyarakat ini, tidak hanya meliputi masyarakat orang-perorangan, tetapi juga
masyarakat dari masyarakat pribadi (individual community) seperti negara.[16]
Jadi, sebagaimana halnya dengan orang-perorangan sebagai anggota masyarakat,
maka suatu negara pun merupakan anggota dari masyarakat negara-negara atau
masyarakat internasional. Sekarang, terdapat lebih dari 190 negara, 185 negara
di antaranya adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.[17]
Akan tetapi, adanya sejumlah negara saja tidak cukup untuk membuktikan adanya
masyarakat internasional. Untuk itu, diperlukan hubungan tetap di antara
negara-negara yang merupakan anggota dari masyarakat internasional itu.
Hubungan tetap di antara negara-negara itu dapat terlihat dari berbagai
hubungan, seperti hubungan perdagangan, kebudayaan, ilmu pengetahuan,
keagamaan, sosial dan olah raga. Hubungan tetap ini perlu dipelihara dan
dipertahankan. Dan, untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan ini
diperlukan hukum.[18]
Adanya sejumlah negara ini merupakan unsur materiil (fakta fisik) bagi adanya
masyarakat internasional. Di samping unsur materiil ini diperlukan pula faktor
lain yang merupakan unsur pengikat bagi masyarakat internasional tersebut,
yaitu faktor non materil. Unsur pengikat atau faktor non materiil ini adalah,
adanya kesamaan asas-asas hukum di antara bangsa-bangsa di dunia. Asas-asas
yang bersamaan ini dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenal dengan
asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, yang
merupakan penjelmaan dari hukum alam.[19]
Jadi, adanya masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat
dibantah.
Jika keberadaan masyarakat internasional merupakan kenyataan yang tak dapat
dibantah, demikian pula halnya dengan aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional.
Aturan-aturan tingkah laku dalam masyarakat internasional ini dapat dijumpai
baik dalam hukum perjanjian maupun hukum kebiasaan internasional.
Penggunaan bendera putih sebagai bendera diplomatik pada masa perang, dan
pemberian suaka kepada orang-orang yang meminta perlindungan di Kantor Kedutaan
Asing berasal dari hukum kebiasaan. Dan, aturan-aturan mengenai hubungan
diplomatik, hukum laut internasional, hukum ruang angkasa, dan hukum perjanjian
internasional bisa dijumpai dalam berbagai perjanjian internasional.
Selanjutnya, untuk berlakunya hukum internasional harus ada kekuasaan dari luar
yang memaksakan penaatannya. Dalam hukum internasional, kekuasaan dari luar
tersebut adalah masyarakat internasional.
Berbeda dengan hukum nasional, yang memiliki badan-badan legislatif, eksekutif,
peradilan atau badan polisional yang dapat memaksakan ditaatinya aturan hukum
ini, di dalam hukum internasional badan-badan ini tidak ada.[20]
Tidak adanya badan-badan ini, menyebabkan beberapa pemikir seperti Hobbes,
Pufendorf, Spinoza dan Austin menyangkal sifat mengikat dari hukum
internasional. Bagi mereka, hukum internasional bukanlah hukum. Menurut Austin
hukum internasional bukan hukum dalam arti sebenarnya, tetapi hanya aturan
moral positif.[21]
Pendapat Austin ini, sejalan dengan pandangannya tentang hukum. Austin
merumuskan hukum sebagai perintah umum dari suatu penguasa (sovereign) yang
ditujukan kepada warganya (his subjects). Sebagai perintah hukum harus
dikeluarkan oleh orang atau badan yang dipatuhi oleh masyarakat tertentu. Pembentuk
hukum tersebut juga meliputi pembentuk undang-undang.[22]
Pendapat Austin tidak sepenuhnya benar. Pengertian hukum yang dikemukakan
Austin, hanya benar untuk hukum tertulis atau hukum dalam arti undang-undang,
yang dibuat oleh Parlemen di negara konstitusional atau kekuasaan berdaulat
lainnya di negara-negara nir konstitusional. Pengertian tersebut tidak mencakup
hukum kebiasaan. Padahal, dalam kenyataannya tidak ada suatu masyarakat yang
hanya cukup dengan hukum tertulis saja. Di mana pun selalu ada hukum kebiasaan
yang berdampingan dengan hukum tertulis.[23]
Selanjutnya, pendapat Austin juga dibantah Starke. Menurut Starke,
pendapat Austin dibatah oleh kenyataan berikut:[24]
a. Yurisprudensi historis
modern tidak memperhitungkan kekuatan teori hukum umum Austin. Sudah
ditunjukkan bahwa dalam banyak masyarakat tanpa suatu otoritas legislatif
formal pun suatu sistem hukum berlaku dan ditaati dan bahwa hukum demikian tidak
berbeda dalam operasi mengikatnya dari hukum suatu negara dengan suatu otoritas
legislatif sesungguhnya.
b. Pandangan-pandangan Austin,
sekalipun benar bagi zamannya, tidaklah benar bagi hukum internasional dewasa
ini. Pada abad pertengahan yang lalu, sejumlah besar “perundangan
internasional” sudah terlahir sebagai akibat perjanjian-perjanjian pembuatan
hukum dan konvensi-konvensi, dan proporsi-proporsi aturan kebiasaan hukum
internasional berkurang. Seandainya benar bahwa otoritas legislatif berdaulat
yang tegas di bidang internasioal, prosedur untuk merumuskan aturan-aturan
“perundangan internasional” ini dengan jalan konferensi-konferensi
internasional atau melalui organ -organ internasional yang ada praktis seperti
sudah diselesaikan, sekalipun tidak seefisien prosedur legislatif negara.
c. Masalah-masalah hukum
intenasional selalu ditangani sebagai masalah yuridis oleh siapa pun yang
melaksnakan urusan internasional dalam berbagai Departemen Luar Negeri, atau
melalui berbagai badan-badan administratif internasional yang ada. Dengan kata
lain, instansi-instansi otoritatif yang bertanggung jawab atas tetap
berlangsungnya pergaulan internasional tidak menganggap hukum internasional
kitab undang-undang moral belaka.
Bahwa hukum internasional bukanlah aturan moral belaka, karena berbeda dengan
moral yang bersumber dari kesadaran hati nurani dan daya paksanya berasal dari
dalam, maka hukum termasuk hukum internasional dipaksakan oleh kekuasaan dari
luar.[25]
Yang dimaksud dengan kekuasaan dari luar, adalah kekuasaan dari masyarakat.
Dan, untuk hukum internasional kekuasaan dari luar tersebut tentu saja
masyarakat internasional.
Jadi, hukum internasional benar-benar merupakan hukum yang mengikat masyarakat
internasional. Hanya saja, diakui bahwa hukum internasional merupakan hukum
yang lemah. Kelemahan ini, terutama mencolok pada masa perang. Sebab, pada masa
ini pihak-pihak yang berperang acap meremehkan aturan hukum internasional
tentang perang. Akan tetapi, hukum yang lemah tetaplah hukum.[26]
Persoalannya, apakah yang menjadi dasar mengikatnya hukum internasional?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam berbagai teori tentang
mengikatnya hukum internasional. Teori-teri tersebut adalah: (1) teori hukum
alam, (2) teori kehendak negara, (3) teori kehendak bersama negara, (4) teori kaidah
hukum dan (5) teori kenyataan kemasyarakatan (fakta sosial).[27]
Menurut teori hukum alam, hukum internasional mengikat karena hukum internasional
itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan
bangsa-bangsa. Dengan kata lain, negara-negara terikat pada hukum internasional
dalam hubungannya satu dengan lainnya karena hukum internasional
merupakan hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum alam.Teori ini
disekularkan oleh Hugo de Groot dan lebih disempurnakan oleh Emerich Vattel
(1714-1767).
Menurut Vattel hukum bangsa-bangsa yang muncul dari hukum alam mutlak perlu
dipatuhi. Sebab, hukum bangsa-bangsa ini mengandung petunjuk-petunjuk yang
diperintahkan hukum alam kepada negara-negara, dan tidak kurang mengikatnya
terhadap negara-negara daripada terhadap individu-individu.
Kelemahan dari teori ini, karena sifatnya yang samar-samar dan tergantung pada
pendapat subyektif dari yang bersangkutan seperti konsep keadilan, kepentingan
masyarakat internasional, kemanfaatan, keharusan dan sebagainya. Kesamaran ini
semakin bertambah dalam kaitannya dengan hukum internasional. Ini, disebabkan
karena perbedaan taraf integrasi, kebudayaan dan sistem nilai yang biasanya
dikaitkan dengan hukum alam meskipun istilah yang dipergunakan mungkin sama.
Meskipun demikian, konsep hukum alam ini mempunyai pengaruh besar dan baik bagi
prkembangan hukum internasional. Konsep hukum alam ini telah menimbulkan
keseganan terhadap hukum internasional, meletakkan dasar moral yang berharga
bagi hukum internasional dan bagi perkembangan selanjutnya.
Sisa-sisa dari teori hukum alam masih ada sampai sekarang. Ini bisa dilihat misalnya,
dalam konsep yang melandasi Pernyataan Hak-hak dan Kewajiban Negara-negara (Draft
Decalaration on the Rights and Duties of States) yang disiapkan oleh Komisi
Hukum Internasional.[28]
Teori kehendak negara menyatakan tunduknya negara kepada hukum internasional
adalah atas kemauan negra itu sendiri. Menurut para penganut teori ini, sumber
dari segala hukum adalah negara, dan, hukum internasional itu mengikat karena
negara-negara itu atas kemauan sendiri tunduk pada hukum internasional. Tokoh
dari aliran ini adalah George Jellineck, dan Zorn. Menurut Zorn, hukum
internasional tidak lain dari hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu
negara.
Teori ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu (1) tidak dapat menerangkan
bagaimana hukum internasional itu mengikat; (2) bagaimana kalau suatu negara
secara sepihak membatalkan niatnya untuk terikat?; (3) mengapa negara baru
langsung terikat pada hukum internasional, terlepas dari dari ada tidaknya
kemauan untuk terikat pada hukum internasional?; dan (4) bagaimana halnya
dengan hukum kebiasaan? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh teori
kehendak negara.
Bukan kehendak negara satu-satu persatu yang mengikat mereka pada hukum
internasional, melainkan kemauan bersama dari negara-negara itu. Demikian,
menurut Tripel. Kehendak bersama ini lebih tinggi daripada kehendak
masing-masing negara. Teori ini disebutnya, “Vreinbarungstheorie”. Hukum
kebiasaan, menurut teori ini, merupakan persetujuan diam-diam. Dan, Triepel
menolak kemungkinan untuk suatu negara melepaskan diri dari ikatan tersebut.
Oleh karena berlakunya hukum internasional disandarkan pada kemauan
negara, maka teori ini pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai
hukum perjanjian internasional. Di sini teori kehendak mempunyai titik
pertemuan dengan teori alami tentang perjanjian. Menurut teori hukum alam
klasik, hukum itu mengikat sepanjang orang-orang mau terikat olehnya.
Diterapkan pada nasyarakat internasional yang pada waktu itu merupakan
masyarakat antar negara, teori ini sampai pada simpulan yang sama dengan teori
kehendak.
Dasar fikiran dari teori kehendak atau kehendak bersama tidak bisa diterima.
Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan hukum yang mengikat kehidupan.
Sebab, ia bisa saja melepaskan diri dari kekuatan hukum yang mengikat itu
dengan cara menarik kembali persetujuannya untuk terikat. Dan, persetujuan
negara untuk tunduk kepada hukum internasional menghendaki adanya norma
atau hukum lebih dulu terlepas dari kehendak negara-negara, sesuatu yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
Teori berikutnya mengenai mengikatnya hukum internasional adalah teori kaidah
hukum. Menurut teori ini, norma hukumlah yang menjadi dasar mengikatnya hukum
internasional. Teori ini dikemukakan oleh para penganut mazhab Wina, yang
dipelopori oleh Hans Kelsen. Mazhab ini berpendapat, bahwa yang menjadi dasar
mengikatnya hukum internasional adalah kaidah hukum yang lebih tinggi yang
didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi lagi, dan berakhir pada kaidah dasar
(Grundnorm) sebagai kaidah yang tertinggi. Kaidah dasar ini harus diterima
sebagai hipotesa asal (Ursprungshypothesis) yang tak dapat diterangkan secara
hukum. Dan, yang dianggap sebagai kaidah dasar dari hukum internasional adalah
asas Pacta Sunt Servanda.
Teori ini tidak dapat menerangkan apa sebabnya kaidah dasar itu mengikat.
Akibatnya, seluruh sistem yang logis menjadi tergantung di awang-awang, sebab,
tidak mungkin menyandarkan kekuatan hukum internasional itu pada suatu
hipotesa. Dengan menyatakan bahwa persoalan kekuatan grundnorm merupakan
persoalan di luar hukum, maka persoalan mengikatnya hukum internasional dikembalikan
kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar hukum. Dengan demikian, maka teori
tentang dasar mengikatnya hukum internasional dikembalikan lagi kepada
teori-teori hukum alam.
Berbeda dengan teori-teori tersebut di atas, mazhab Perancis dengan para
pemukanya, Fauchile, Scelle dan Duguit berusaha menerangkan kekuatan
mengikatnya hukum internasioal dengan mengaitkannya pada kenyataan-kenyataan
hidup manusia. Mereka mendasarkan kekuatan mengikatnya hukum internasional
didasarkan pada faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia, yang
mereka sebut faktor-faktor kemasyarakatan (fait sosial). Kenyataan-kenyataan
kemasyarakatan inilah yang menjadi dasar mengikatnya segala hukum. Dan, ini
dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya
untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan
dan naluri sosial manusia sebagai orang perorangan juga dimiliki oleh
bangsa-bangsa. Jadi, dasar mengikatnya hukum (internasional) terdapat dalam
kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu guna terpenuhinya
kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
C. Sanksi dalam hukum internasional
Penolakan hukum internasional sebagai hukum selain didasarkan pada alasan bahwa
hukum internsional tidak dibentuk oleh suatu badan yang khusus untuk itu,
seperti badan legislatif atau pengundang-undang pada hukum nasional juga kerap
didasarkan pada alasan ketiadaan sanksi pada jenis hukum ini. Penolak atas
dasar ketiadaan sanksi ini disebabkan karena kekeliruan pandangan mengenai
makna sanksi.
Bagi para penolak ini, sanksi acap hanya dilihat seperti sanksi pada hukum
pidana. Di sini, sanksi kerap dilihat sebagai hukuman pencabutan kebebasan
(hukuman penjara), dan hukuman penghilangan nyawa (hukuman). Karena dikaitkan
dengan hukuman pada hukum pidana, juga bekerjanya hukum internasional kerap
dikaitkan dengan polisi dan kejaksanaan, serta badan peradilan (pidana)[29]
internasional. Mereka mengabaikan adanya berbagai macam atau bentuk sanksi yang
dapat dijatuhkan oleh masyarakat internasional jika terjadai berbagai
pelanggaran terhadap hukum internasional.
Philip M. Brown, menyebut sanksi internasional sebagai “compulsory
force of reciprocal advantage and fear of retalation”. Dalam The North
Atlantic Coast Fisheries Arbitration of 1910, pengadilan (arbitrasi)
menyebut sanksi hukum internasional sebagai “appeal to public opinion,
publication of correspondence, cencure by Parliament, demand for arbitration
with the odium attendant on a refusal to arbitrate, rufture of relation,
reprisal etc.”.[30]
Keberadaan sanksi dalam hukum internasional juga ditegaskan oleh Hans Kelsen
dalam karya terakhirnya Principles of International Law. Di sini Kelsen
sampai pada simpulan bahwa hukum internasional adalah hukum yang sebenarnya (true
law) karena …. Hukum ini memberikan sanksi, seperti penggunaan
pembalasan (reprisal), perang dan penggunaan kekerasan pada umunya, dan
menyebabkan penggunaan sanksi-sanksi ini sah sebagai tindakan pembalasan (counter-measures)
terhadap kesalahan menurut hukum (legal wrong), tetapi ini tidak sah
pada kasus-kasus lain …. [31]
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HUKUM INTERNASIONAL
Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan
antar negara telah tumbuh hanya dalam masa empat ratus tahun terakhir. Biasanya
diambil sebagai awal lahirnya hukum internasional modern, yaitu pada saat
ditandanganinya Perjanjian Perdamaian West Phalia, yang mengakhiri Perang Tiga
Puluh Tahun di Eropa, tahun 1648.[29]
Akan tetapi, jika hukum internasional diartikan dalam arti luas yang mencakup
pula hukum bangsa-bangsa (law of nations), maka hukum internasional
sangat tua usianya. Sam Suhaedi Admawira menyebutkan bahwa sejak tahun 5000 SM,
sebelum terbentuknya sistem kenegaraan Romawi (tahun 117) dan Yunani (431
SM) di lembah Tigris dan Furat telah berdiri Kerajaan Sumeria. Pada waktu
bersamaan di sekitar Lembah Nil sudah berdiri negara-negara kota, akan tetapi
baru bisa dipersatukan oleh Menes pada tahun 3200 SM. Negara-negara kota yang
terkenal dari segi hukum bangsa-bangsa adalah Uma dan Lagash. Pada tahun 3100
SM di antara kedua kerajaan ini diadakan perjanjian perdamaian, yang pada masa
sekarang dapat disebut sebagai perjanjian internasional. Perjanjian lainnya,
dibuat antara Raja Rattusilish III dari Kerajaan Hittite dengan Raja Ramses II
dari Kerajaan Mesir. Perjanjian ini berisi kesepakatan tentang pemeliharaan
perdamaian yang kekal, penghapusan perang, dan persekutuan.[30]
Di lingkungan kebudayaan India Kuno terdapat kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan antar kasta, suku-suku bangsa dan raja-raja. Kerajaan-kerajaan di
India pada masa beberapa abad sebelum Masehi sudah mengadakan hubungan satu
dengan lainnya. Adat kebiasaan yang mengatur hubungan di antara para raja itu
disebut Desa Dharma. Gautamasutra (abad VI SM) merupakan salah
satu karya tertua di bidang hukum, berisi hukum kerajaan, hukum kasta dan hukum
keluarga. Undang-undang Manu (abad V SM) juga menyebut hukum kerajaan. Hukum bangsa-bangsa
di zaman India Kuno juga sudah mengenal ketentuan-ketentuan yang mengatur
hubungan antara raja-raja atau kerajaan demikian, mengatur ketentuan kedudukan
dan hak-hak istimewa diplomat, perjanjian, hak-hak dan kewajiban raja, dan
hukum perang.[31]
Lingkungan kebudayaan lain yang telah mengenal semacam hukum bangsa-bangsa
adalah kebudayaan Yahudi. Dalam Kitab Perjanjian Lama mereka sudah dikenal
ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian, perlakuan orang asing dan cara
melakukan perang. Hanya saja, dalam yang disebut terakhir ini, dalam
hukum Yahudi dimungkinkan untuk melakukan penyimpangan terhadap mereka yang
digolongkan sebagai musuh bebuyutan.
Dalam kebudayaan Yunani terdapat aturan-aturan yang melindugi bentara (combattant)
di dalam perang. Menurut hukum perang pada waktu itu para bentara tidak boleh
diganggu gugat, perang harus diumumkan lebih dahulu, dan para tawanan dapat
dijadikan budak. Masyarakat Yunani juga sudah mengenal lembaga perwasitan, dan
diplomasi yang tinggi tingkat perkembangannya, menggunakan wakil-wakil dagang
yang disebut konsul. Sumbangan paling berharga yang diberikan kebudayaan Yunani
adalah konsep hukum yang bersifat mutlak dan mendunia yang berasal dari akal
manusia. Konsep hukum alam yang dikembangkan para filsuf pada abad III M.
diteruskan ke Roma. Dan, dari Roma diteruskan ke suluruh dunia. Hukum
alam ini memegang peranan penting dalam perkembangan hukum internasional, yang
setelah terdesak oleh ajaran positivist bangkit kembali setelah Perang Dunia II
dalam wujud asas-asas hukum umum.
Pada masa imperium Romawi hukum internasional tidak mengalami perkembangan
pesat. Ini disebabkan, karena pada masa itu masyarakat dunia merupakan suatu
imperium, yang menguasai seluruh wilayah di dalam lingkungan imperium Romawi.
Akibatnya, tak ada tempat bagi kerajaan-kerajaan yang terpisah dan tentunya
dengan hukum bangsa-bangsa yang mengatur hubungan itu. Terhambatnya perkembangan
hukum internasional pada masa ini, disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu :
1. kesatuan
duniawi dan rohani sebagian Eropa di bawah imperium Romawi Suci;
2. struktur
feodal Eropa Barat yang terikat pada suatu jenjangwibawa yang menghambat timbulnya
negara-negara merdeka dan mencegah negara-negara untuk memperoleh sifat
unitaris dan wibawa negara-negara modern.
Sekalipun demikian, hukum Romawi telah memberikan sumbangan penting bagi
perkembangan hukum internasional. Istilah ius gentium yang berasal dari
bahasa Latin merupakan sumbangan hukum Romawi.[32]
Konsep-konsep mengenai occupatio, servituut, bonafides, dari hukum
perdata, dan asas pacta sunt servanda berasal dari hukum atau kebudayaan
Romawi.[33] Jadi,
sumbangan Romawi terhadap hukum internasional tidak terletak pada
ketentuan-ketentuan hukumnya, tetapi terletak pada konsep-konsep hukumnya, yang
menampilkan analogi dan sendi-sendi yang dapat menyesuikan diri secara langsung
dengan pengaturan hubungan-hubungan antara negara-negara modern.
Pada abad pertengahan terdapat dua lingkungan kebudayaan di luar Eropa Barat,
yaitu Kekaisaran Byzantium dan Dunia Islam. Kekaisaran Byzantium, karena
posisinya yang lemah mempraktikkan diplomasi untuk mempertahankan supremasinya,
yang merupakan sumbangan terpenting dari kekaisaran Byzantium.
Sumbangan terpenting yang diberikan Dunia Islam adalah di bidang hukum perang.
Perang menurut konsep Islam dibenarkan untuk membela diri, menghilangkan
tindakan sewenang-wenang, dan menghilangkan tindakan fitnah. Selain itu, dalam
Islam telah diperkenalkan perlakuan yang baik terhdap tawanan perang (Q.II,
190, 191). Tawanan perang dapat dibebaskan baik melalui pertukaran, perkawinan,
atau karena memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang
diberikan oleh tawanan perang. Perbudakan atas tawanan perang bukan berasal
dari Islam tetapi hanya sebagai tindakan timbal balik dan pembalasan (reciporocity).[34] Dalam hukum
Islam mengenai sudah dikenal larangan menyerang orang tua, anak-anak dan
perempuan. Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh sabda Rasul, dan praktik Sahabat
melarang mencincang mayat musuh, tetapi memerintahkan untuk menguburkan mereka
dengan sebaik-baiknya, melarang tindakan khianat, mengingkari janji, melakukan
pembakaran, merusak pohon, menyembelih membunuhi hewan-hewan ternak kecuali
untuk kebutuhan makan, dan memelihara tempat-tempat ibadah.[35] Dan,
hubungan antar bangsa, berupa hidup bertetangga secara baik diatur di dalam
Q.S. Al Hujurat ayat 13.
Sementara itu, di Eropa Barat hukum internasional pada Abad Pertengahan
dikuasai oleh sistem feodal dan keagamaan di bawah Paus sebagai penguasa
tertinggi. Aturan hukum kegerejaan dihimpun di dalam Corpus Juris Canonici,
yang menempatkan hukum Gereja di atas negara. Doktrin ini ditentang Marthin
Luther, lewat gerakan Protestan yang menghendaki reformasi (pembaharuan).
Keadaan ini menimbulkan perang agama selama 30 tahun, dan berakhir pada tahun
1647 dengan diadakannya Perjanjian Perdamaian West Phalia.[36]
Dengan pertumbuhan sejumlah negara merdeka di Eropa, dimulailah
perkembangan modern hukum internasional. Yang dipandang sebagai titik pangkal
pertumbuhan negara modern dan perkembangan baru di bidang hukum internasional
adalah Perjanjian Perdamaian West Phalia. Perjanjian West Phalia dipandang
sebagai peletak dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas
negara-negara nasional, karena:[37]
1. Selain
mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun perjanjian West Phalia telah meneguhkan
perubahan dalam peta bumi politik yang terjadi karena perang itu di Eropa;
2.
perjanjian perdamaian itu mengakhiri selama-lamanya usaha kaisar Romawi
yang suci (the Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali imperium Romawi
yang suci;
3. hubungan
negara dilepaskan dengan gereja dan didasarkan atas kepentingan nasional negara
yang bersangkutan;
4.
kemerdekaan Nederland, Swiss dan negara-negara kecil di Jerman diakui oleh
Perjanjian West Phalia.
Perjanjian West Phalia merupakan titik puncak dari proses yang sudah dimulai
sejak Abad Pertengahan, yaitu gerakan reformasi dan sekularisasi kehidupan
manusia, khususnya perebutan kekuasaan duniawi antara negara dan gereja. Dengan
demikian, kita dapat menempatkan perjanjian West Phalia di dalam keseluruhan
kerangka sejarah. Ini, akan dapat menghindarkan timbulnya kekeliruan
seolah-olah sebelum perjanjian perdamaian tersebut tidak ada negara
nasional. Padahal sebelum perjanjian perdamaian West Phalia telah ada
kerajaan-kerajaan kecil di samping tiga negara besar di Eropa Barat yaitu:
Perancis, Spanyol dan Inggris dan beberapa masyarakat di pinggiran masyarakat
Kristen Eropa seperti Skandinavia dan Rusia.
Masyarakat internasional baru yang terbentuk setelah Perjanjian West Phlia
memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan susunan masyarakat Kristen Eropa
di abad pertengahan yang berdasarkan feodalisme. Ciri-ciri tersebut adalah:[38]
1. Negara
merupakan satuan teritorial yang berdaulat. setiap negara memiliki kekuasaan
tertinggi yang ekseklusif di dalam wilayahnya;
2.
Hubungan-hubungan nasional satu dengan lainnya didasarkan atas persamaan derajat;
3. Tidak ada
kekuasaan di atas negara yang diakui oleh masyarakat negara-negara;
4. Hubungan
antar negara berdasarkan atas hukum yang banyak diambil alih dari
lembaga-lembaga hukum perdata Romawi;
5.
Negara-negara mengakui adanya hukum internasional yang mengatur hubungan
negara-negara itu tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan
negara di dalam mematuhi hukum ini;
6. Tidak ada
pengadilan (internasional) dan polisi internasional yang memaksakan ditaatinya
hukum internasional;
7. Anggapan
terhadap perang bergeser dari segi keagamaan ke doktrim bellum justum sebagai
ajaran perang suci ke arah ajaran bahwa perang merupakan salah satu penggunaan
kekerasan (selain represaille) dalam penyelesaian sengketa untuk mencapai
tujuan nasional (perang yang benar).
Dasar-dasar Perjanjian West Phalia kemudian diperkuat oleh Perjanjian
Utrecht (1713) yang menekankan bahwa keamanan atau perdamaian dapat dipulihkan
lewat keseimbangan kekuasaan yang adil (justum potentiae equalibrium)
yang dapat dipakai sebagai landasan persahabatan yang kekal.[39]
Dengan pertumbuhan negara-negara merdeka tersebut dilakukan proses pembentukan
aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dalam hubungan timbal balik di
antara negara-negara tersebut. Di Italia misalnya, banyak negara kecil yang
merdeka, mengadakan hubungan diplomatik satu dengan lainnya atau dengan dunia
luar. Hubungan-hubungan ini melahirkan aturan hukum kebiasaan di bidang
diplomatik seperti, pengangkatan, penerimaan dan kekebalan utusan diplomatik.[40]
Di penghujung abad ke-15 dan 16 sudah banyak para ahli hukum yang mengarahkan
perhatiannya pada perkembangan masyarakat negara-negara berdaulat, memikirkan
dan menulis aneka masalah hukum bangsa-bangsa. Mereka menyadari perlunya aturan
hukum yang mengatur segi-segi hubungan antara negara-negara. Para penulis
tersebut adalah Vittoria (1480-1546), teoloog pada Universitas Salamanca, Belli
(1502-1575) dan Gentilis (1552-1608) dari Italia, Brunus (1491-1563) dari
Jerman, Fernando Vasquez de Mancaca (1512-1569) dari Spanyol, Baltazar Ayala
(1548-1584) dan Suarez (1548-1617) dari Spanyol, dan Grotius (1583-1645),
ahli hukum dari Belanda.
Dari sekian banyak penulis tersebut, Grotiuslah yang dipandang sebagai
bapak hukum internasional. Ini disebabkan karena ajarannya memiliki nilai
intrinsik yang tinggi dan sesuai dengan panggilan jaman.
Ajarannya didasarkan pada hukum alam yang telah
disekulerkan. Ia memberikan tempat yang penting bagi negara-negara nasional.
Selain itu, ia banyak menempatkan praktik negara dan perjanjian antar negara di
samping hukum alam yang diilhami akal manusia sebagai sumber hukum alam. Dialah
yang meletakkan dasar-dasar bagi sistematika pembahasan hukum internasional,
yang sebagian besar, masih diikuti sampai sekarang. Karyanya yang terpenting di
bidang ini adalah De Jure Belli ac Pacis.
Akan tetapi, tidak semua ahli hukum internasional menyetujui Grotius sebagai
bapak hukum internasional. Oppenheim misalnya, menyatakan bahwa sebutan bapak
hukum internasional kepada Grotius berlebihan. Sebab, sebelum Grotius sudah ada
sarjana yang menulis di bidang hukum internasional. Sarjana-sarjana itu adalah
Francisco Vittoria dan Alberico Gentili.[41] Beberapa
penulis lainnya juga menolak pendapat bahwa Grotius sebagai bapak hukum
internasional. Ini didasarkan pada alasan bahwa Grotius banyak mendapat ide
dari tulisan-tulisan Gentilis, dan ia mengikuti tulisan-tulisan Gentilis, Ayala
dan penulis-penulis lain. Memang, baik Grotius maupun Gentilis banyak
dipengaruhi oleh penulis-penulis sebelumnya.[42]
Penulis-penulis terkemuka setelah Grotius di abad ke-18 yang besar pengaruhnya
bagi perkembangan hukum internasional adalah Zouche (1590-1660), Guru Besar
Hukum Perdata di Oxford, Pufendorf (1632-1694), Guru Besar Universitas
Heidelberg, Binkershoek (1673-1743), seorang ahli hukum Belanda, Christian Wolf
(1609-1764), seorang ahli hukum dan filsafat Jerman dan Emerich Vattel
(1714-1767), seorang ahli hukum dan diplomat berkebangsaan Swiss. Mereka pada
umumnya digolongkan ke dalam aliran hukum alam dan positivist.
Pufendorf dan Wolf adalah para penganaut aliran hukum alam. Menurut Pufendorf,
hukum internasional merupakan bagian dari hukum alam yang berpangkal pada akal
manusia, yang mengatur kehidupan manusia kapan dan di mana saja ia berada, baik
ia hidup berorganisasi di dalam negara atau tidak. Christian Wolf mengemukakan
teori Civitas Maxima. Teori ini memandang hukum internasional sebagai
hukum dunia yang belaku pada Negara Dunia, yang meliputi negara-negara di
dunia. Sebaliknya, Zouche, Binkershoek dan von Martens adalah penganut
positivist. Mereka mementingkan praktik negara sebagai sumber hukum yang
terjelma dalam adat kebiasaan dan perjanjian. Sekalipun tidak menolak hukum
alam secara mutlak.[43]
Emerich Vattel dapat digolongkan sebagai aliran eclectic, yakni aliran yang
memilih segi-segi baik dari kedua aliran tersebut. Karya Vattel memiliki
pengaruh besar bagi perkembangan hukum internasional di kemudian hari, utamanya
di Amerika Serikat. Tulisan-tulisannya penting karena:[44]
1.
tulisannya banyak memuat adat kebiasaan dan perjanjian antar negara yang sangat
berharga sebagai sumber atau bukti hukum;
2.
tulisan-tulisannya memiliki sumbangan yang besar dalam menjelaskan pengertian
dan pengembangan konsep dan pembahasan persolan hukum internasional
secara sistematis.
Revolusi Perancis dan Amerika pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX juga
mempengaruhi perkembangan hukum internasional lewat internasionalisasi hubungan
antar bangsa (Eropa, Amerika, Asia dan Afrika). Internnasionalisasi hubungan
antar bangsa ini melahirkan asas-asas dan
gagasan-gagasan baru yang memperkaya hukum
internasional. Gagasan-gagasan tersebut antara lain: hak suatu bangsa untuk
mengubah atau menyusun pemerintahannya, serangan kepada suatu negara dianggap
sebagai serangan terhadap semua bangsa, kepentingan manusia di atas kepentingan
negara, perlakuan manusiawi kepada tawanan, netralitas dan lain-lain.[45]
Selanjutnya melalui Kongres Wina (1815) yang mengakhiri Perang Napoleon
ditetapkan kembali garis batas negara-negara di Eropa di samping larangan
perbudakan secara internasional. Di bidang diplomasi diciptakan suatu Protokol
yang disebut Protokol Aix-la-Capelle (1818) yang masih bertahan sampai
sekarang.
Perlawanan terhadap Napoleon digalang lewat Persekutuan Sempurna atau lebih
terkenal dengan sebutan the Consert of Europe. Negara-negara sekutu ini
terdiri atas Austria, Inggris, Prusia, Rusia, dan setelah tumbangnya Napoleon
ditambah dengan Perancis. Melalui Concert of Europe ini ditingkatkan kerjasama
di Eropa dalam berbagai bidang berdasarkan hukum internasional.[46]
Di antara negara-negara besar di Eropa sendiri terjadi pertentangan internal,
antara negara-negara yang ingin mempertahankan absolutisme dan yang ingin
menghapuskannya. Untuk mempertahankan absolutisme tersebut, negara-negara
Austria, Prusia dan Rusia membentuk Persekutuan Suci (Holy Alliance,
1815) dengan memasukkan segi-segi keagamaan di dalamnya. Usaha negara-negara
ini gagal, karena tidak dapat membendung pikiran-pikiran baru yang lebih
demokratis. Pergolakan yang terjadi di Eropa merambah pula ke Benua Amerika.
Untuk mempertahankan Amerika dari dominasi Eropa melalui Holy Aliance,
dikeluarkan suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doktrin Monroe pada
tahun 1823. Menurut doktrin ini Benua Amerika tidak lagi dipandang sebagai
berada di bawah penjajahan Eropa di masa yang akan datang. [47]
Perkembangan ini terjadi selama abad
ke-19. Abad ini dapat dipandang sebagai puncak kejayaan dalam tingkat
kedewasaan negara nasional. Perkembangan ini sangat didukung oleh
munclnya negara-negara baru yang kuat di Eropa dan di luar Eropa, perluasan peradaban
Eropa, pemodernan pengangkutan dunia, kehancuran dahsyat oleh prang modern dan
pengaruh temuan-temuan baru. Keadaan ini mendesak untuk adanya aturan
yang mengatur perilaku negara dalam urusan internasional. Selama abad ini
terjadi perkembangan yang menonjol di bidang hukum perang dan netralitas,
penyelesaian sengketa melalui lembaga perwasitan, dan timbulnya kebiasaan
negara merundingkan perjanjian umum untuk mengatur kepentingan timbal balik.[48]
Kejadian terpenting di abad ke-19 dilihat dari sudut perkembangan hukum
internasional adalah Konferensi Perdamaian tahun 1856 dan Konferensi Jenewa
tahun 1864. Kedua Konferensi memelopori Perjanjian Perdamaian Den Haag di akhir
abad ke-19 (tahun 1899), yang penting sekali artinya dalam perkembangan hukum
internasional. Pentingnya konferensi-konferensi ini, karena untuk
pertamakalinya konferensi internasionaldipergunakan secara sadar untuk
melahirkan konvensi-konvensi internasional yang membentuk perjanjian-perjanjian
yang berlaku umum dan dilaksanakan secara berkala.[49]
Perkembangan penting berikutnya, terjadi pada abad
ke-20. Pada permulaan abad ini diadakan Perjanjian Perdamaian Den Haag
II, tahun 1907. Hasil terpenting dari Konferensi Perdamaian Den Haag I
dan II selain dari Konvensi-konvensi di bidang hukum perang adalah dibentuknya
Mahkamah Arbitrasi Permanen. Kemudian, pada tahun 1921 dibentuk pula Mahkamah
Internasional Permanen, yang setelah bubar pada tahun 1946 digantikan oleh
Mahkamah Internasional yang dibentuk pada tahun 1945.[50]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Konferensi Perdamaian Den Haag 1899 dan
1907 mengakhiri tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yang
didasarkan atas negara kebangsaan, dan dimasukinya tahap kedua, yaitu tahap konsolidasi.
Tahap konsolidasi masyarakat internasional ini memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:[51]
1. Negara sebagai kesatuan politik
teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan telah menjadi kenyataan.
Jika dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional yaitu setelah
terjadinya perjanjian West Phalia, kekuasaan nyata negara masih berada di
tangan raja; setelah terjadinya revolusi Perancis kekuasaan yang dipegang
beralih ke tangan rakyat sehingga negara kebangsaan telah benar-benar menjadi
negara nasional dalam arti yang sesungguhnya, bukan lagi kerajaan dalam bentuk
baru;
2. Konferensi-konferensi
internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian
internasional yang bersifat umum yang meletakkan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku universal. Diadakannya konferensi semacam ini secara berkala merupakan
langkah maju ke arah suatu masyarakat internasional sebagai masyarakat hukum. Konferensi
yang bersifat umum dan universal ini, sedikit banyak memenuhi fungsi legislatif
masyarakat internasional. Konferensi-konferensi perdamaian ini dapat dipandang
sebagai pelopor usaha yang lebih terarah di kemudian hari kepada pembentukan
hukum internasional melalui perjanjian, yaitu uaha kodifikasi hukum
internasional dalam rangka Liga Bangsa-Bangsa dan kemudian Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
3. Pembentukan Mahkamah
Internasional Arbitrasi Permanen merupakan kejadian penting dalam mewujudkan
masyarakat hukum internasional. Terbentuknya Mahkamah Arbitrasi Permanen
ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antar bangsa di
Abad Perterngahan. Pembentukan Arbitrasi Internasional Permanen ini kemudian
diikuti pula dengan pembentukan Mahkamah Internasional Permanen tahun 1921,
yang merupakan mahkamah untuk mengadili perkara-perkara internasional menurut
hukum. Dibentuknya lembaga-lembaga dengan wewenang penyelesaian sengketa
internasional tanpa menggunakan kekerasan senjata, merupakan tanda bahwa
masyarakat internasional telah memasuki tahap kedewasaan. Dari sudut
perkembangan masyarakat hukum kejadian ini penting karena dengan pembentukan
kedua Mahkamah ini berarti telah diambil langkah-langkah pertama dalam
memperjuangkan kekuasaan peradilan sebagai salah satu fungsi yang sangat
penting dalam masyarakat hukum.
Dalam masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag 1907 telah timbul pula
kejadian-kejadian penting bagi perkembangan masyarakat internasional, yaitu (1)
Perjanjian Larangan Perang sebagai cara mencapai tujuan nasional, yakni Briand-
Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan (2) Didirikannya Liga
Bangsa-Bangsa dengan Perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia I dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia II.[52]
Kemunculan dua organisasi internasional tersebut menambah dimensi baru bagi
masyarakat internasional modern yang sangat penting artinya bagi perkembangan
hukum internasional modern, yaitu gejala organisasi atau lembaga internasional
yang melintasi batas-batas negara yang mempunyai wewenang dan tugas di samping
dan kadang-kadang di atas kekuasaan negara nasional.
Tahap berikutnya dari perkembangan masyarakat dan hukum internasional adalah
tahap emansipasi politik negara-negara yang melepaskan diri dari belenggu
penjajahan ke dalam masyarakat internasional yang merdeka dan berdaulat. Tahap
ini telah dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia I dan mencapai puncaknya
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Dalam tahap ini, negara-negara bekas
jajahan, terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ikut serta secara
aktif di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan hukum internasional baru di berbagai
forum internasional.[53]
Pada masa sebelum tahap perkembangan yang disebut terakhir ini, hukum
internasional tidak berlaku secara universal dan seragam. Pada masa ini hukum
internasional bekerja pada dua bidang yang berbeda. Di satu sisi, hukum
internasional sesuai dengan tipe hubungan yang dibentuk di antara bangsa-bangsa
beradab (civilized states) dan dunia sisanya, hubungan yang
sebagian besar tergantung pada kenyataan gejala penguasaan oleh sebagian kecil
negara terhadap negara-negara lain. Di sisi lain hukum internasional sesuai
dengan hubungan inter se, hubungan ini terbatas pada Negara-negara
Anggota “Klub” sejauh klub tersebut menjamin satu dengan lainnya memiliki
kedaultan dan kemerdekaan atas dasar timbal balik penuh (full reciprocity).
Dengan cara ini, hukum beroperasi dalam lingkungan yang agak berbeda yang
mengatur di satu sisi suatu “masyarakat” internasional yang terbatas pada
klub ekslusif, dan di sisi lain, sekumpulan bangsa asing (overseas
peoples) yang dikeluarkan dari masyarakat internasional ini.[54]
Hukum ini, yang oleh Bedjaoui disebut sebagai hukum internasional klasik, tidak
lain daripada hukum Eropa. Hukum internasional klasik ini merupakan suatu
sistem norma dengan muatan geografis (hukum Eropa), ilham etik dan agama
(hukum Kristen), motivasi ekonomi (hukum perniagaan) dan tujuan politik (hukum
imperialistik). Dan, sesuai dengan tatanan ekonomi pada waktu itu, hukum
initernasional ini juga merupakan (a) Hukum Oligarkis (Oligarchic law)
yang mengatur hubungan di antara negara-negara berada yang termasuk pada klub
tersebut, (b) Hukum Plutokratik (Plutocatic law) yang memperkenankan
negara-negara tersebut mengekploitasi negara-negara yang lebih lemah; (c)
Sejauh mungkin merupakan hukum non intervensi (Non interventionist law)…..
[55]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar